Jakarta |detektifinvestigasigwi.com- Pada hari jum’at 22 agustus 2025, pada dasarnya. Mens rea merupakan salah satu aspek dari kesalahan pidana. Namun, kesalahan memiliki cakupan lebih luas karena juga mencakup aspek kemampuan bertanggung jawab yang erat kaitannya dengan kondisi psikis yang normal dan matang.
Hukum pidana pada prinsipnya dapat dilihat dalam dua lanskap yakni dalam arti luas yang meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil serta dalam arti sempit, dalam hal ini mengacu pada hukum pidana materil. Hukum pidana materil sendiri mengatur mengenai tiga hal yakni, tindak pidana, sanksi pidana, dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana merupakan perbuatan yang diatur dalam aturan hukum pidana yang berupa larangan maupun perintah dengan disertai ancaman sanksi pidana bagi subyek hukum yang melanggar maupun tidak mematuhinya.
Sedangkan pidana sendiri merupakan sanksi yang dijatuhkan terhadap orang yang melanggar atau tidak mematuhi aturan hukum pidana. Sanksi dalam hukum pidana dibagi menjadi tiga yakni pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan. Sanksi pidana pada awalnya merupakan sebuah nestapa yang ditujukan sebagai sarana retributif (orientasi perampasan kemerdekaan).
Namun, dalam dinamika hukum pidana kontemporer, sanksi pidana di orkestrasi untuk mewujudkan tiga hal yakni, memperbaiki dan menyadarkan pelaku, restorasi kerugian korban, dan terwujudnya stabilitas sosial.
Terakhir, pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dapat dijatuhi sanksi pidana. Salah satu babagan penting dalam hukum pidana materil adalah perihal pertanggungjawaban pidana karena berimplikasi langsung terhadap hak asasi subjek hukum.
Secara praktis dan teoritik, seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terpenuhi dua aspek secara integral. Pertama, aspek objektif, yakni terkait pemenuhan unsur-unsur delik pidana (perbuatan melawan hukum). Aspek objektif ini sering disebut sebagai actus reus atau perbuatan fisik yang melanggar aturan hukum pidana.
Kedua, aspek subjektif, yakni aspek pada diri pelaku terkait adanya kesalahan. Kesalahan (schuld) merupakan keadaan jiwa dan hubungan batin seseorang dengan perbuatannya, yang mana antara hubungan batin dengan perbuatannya seseorang patut dicela oleh hukum.
Keadaan jiwa menyangkut kemampuan bertanggungjawab yakni keadaan kematangan dan kenormalan psikis yang ditandai oleh tiga hal: menginsyafi arti dan akibat perbuatannya, memahami bahwa perbuatannya itu melanggar norma sosial (tercela), dan kemampuan menentukan kehendak untuk berbuat.
Sedangkan hubungan batin seseorang dengan perbuatannya meliputi adanya kesengajaan maupun kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf. Seseorang/subjek hukum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana harus memenuhi aspek objektif dan subjektif secara integral. Setiap terlanggarnya aturan hukum pidana belum tentu merupakan sebuah pertanggungjawaban pidana.
Karena pelanggaran terhadap aturan hukum pidana adalah perihal aspek objektif. Maka harus dilihat dan dipenuhi juga pada aspek subyektif yakni kesalahan. Dalam doktrin hukum pidana dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan. Artinya untuk menjatuhkan pidana tidak cukup hanya karena terlanggarnya aturan hukum pidana melainkan harus dilihat bagaimana terpenuhinya aspek kesalahan.
Aspek objektif (actus reus) dan aspek subjektif (kesalahan) kemudian berkorelasi terhadap formulasi alasan penghapus pidana berupa alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar adalah alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan. Sehingga perbuatan yang dilakukan dianggap benar dan sah. Yang tergolong sebagai alasan pembenar misalnya, pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1 KUHP), keadaan darurat (Pasal 48 KUHP), serta melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat 1 KUHP).
Jadi, misalnya seseorang sebut saja si A mendobrak dan merusak pintu rumah tetangganya untuk menyelamatkan tetangganya dari sebuah kebakaran. Maka si A tidak bisa dikenakan pidana terkait tindak pengrusakan barang (Pasal 406 KUHP) karena si A melakukan demikian dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan penghuni rumah.
Menurut teori lessers evils, suatu perbuatan yang melanggar hukum itu dapat dibenarkan dengan dua alasan yakni, perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar serta perbuatan yang melanggar aturan tersebut hanya merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan secara cepat dan paling mudah untuk menghindari bahaya atau ancaman bahaya yang timbul. Teori lessers evils merupakan basis pijakan dari alasan pembenar.
Selanjutnya, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan pada diri pelaku. Jadi, perbuatannya tetap bersifat melawan hukum, tetapi tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, karena tidak terpenuhinya aspek kesalahan. Yang tergolong sebagai alasan pemaaf misalnya Pasal 44 KUHP (tindak pidana yang dilakukan oleh orang sakit jiwa) maupun pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP).
Dalam alasan pemaaf yang dimaafkan adalah kesalahan pelakunya bukan perbuatannya yang bisa disebabkan karena tidak adanya kemampuan bertanggungjawab (misal anak di bawah umur), serta tidak adanya niat jahat (mens rea) yang berwujud kesengajaan dan kealpaan/kelalaian.
Mens Rea
Menurut Prof. Sudarto, mens rea adalah keadaan psikis seseorang ketika melakukan tindak pidana. Sementara itu, E. Utrecht mendefinisikannya sebagai sikap batin pelaku tindak pidana.
Pada dasarnya, mens rea merupakan salah satu aspek dari kesalahan pidana. Namun, kesalahan memiliki cakupan lebih luas karena juga mencakup aspek kemampuan bertanggung jawab yang erat kaitannya dengan kondisi psikis yang normal dan matang.
Dalam konteks kesalahan, mens rea dapat terwujud dalam dua bentuk: kesengajaan (dolus) dan kealpaan/kelalaian (culpa).
Kesengajaan berarti pelaku mengetahui dan menghendaki terwujudnya perbuatan pidana.
Kealpaan atau kelalaian terjadi karena kurangnya kehati-hatian atau tidak memperhitungkan akibat, sehingga menimbulkan tindak pidana.
Dengan demikian, mens rea berkaitan erat dengan sikap batin jahat yang ditujukan, atau setidaknya seharusnya disadari, dapat menimbulkan tindak pidana.
Contoh Kasus Mens Rea dalam Praktik
1. Kasus Pertama: Pemakaian Motor untuk Kejahatan
Misalnya, si A meminjamkan motor kepada si B. Kemudian si B menggunakan motor tersebut untuk melakukan penganiayaan dengan cara menabrak si C. Dalam hal ini, perlu dilihat sikap batin si A saat meminjamkan motor:
Jika si A tidak tahu bahwa motor akan digunakan untuk tindak pidana, maka ia tidak memiliki mens rea dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Sebaliknya, jika terbukti si A mengetahui tujuan tersebut, maka ia bisa dianggap membantu tindak pidana karena adanya mens rea.
2. Kasus Kedua: Mengendarai Motor Ugal-Ugalan
Si A mengendarai motor dengan kecepatan tinggi di jalan pasar yang ramai. Ia kemudian menabrak si B hingga meninggal dunia. Dalam kasus ini:
Si A memang tidak berniat menabrak korban.
Namun, tindakan mengendarai motor dengan kencang di tempat ramai secara common sense adalah bentuk kelalaian.
Artinya, si A memiliki mens rea dalam bentuk kealpaan, yakni kurang hati-hati hingga mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Dengan demikian, si A tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Peran Hakim dalam Menentukan Mens Rea
Penentuan ada atau tidaknya mens rea merupakan kewenangan hakim dalam proses pemeriksaan dan pembuktian di persidangan. Hal ini berbeda dengan aspek alasan pembenar, yang bisa diselesaikan pada tahap pra-yudisial.
Artinya, setiap perbuatan yang dapat dikecualikan karena alasan pemaaf seharusnya diputuskan di pengadilan. Sebab, yang berhak menilai kesalahan pidana adalah hakim, bukan penyidik maupun penuntut umum.
(Red/Penulis : Pradikta Andi Alvat/Humas MA)