BANJARBARU, – detektifinvestigasigwi.com ll Kolam sunyi itu seperti hati yang tenang di tengah badai, diam namun penuh kekuatan. Dari kedalaman yang hening, keadilan mengalir bagai aliran air jernih yang tak pernah berhenti, menembus bebatuan keras tanpa keributan. Ia adalah suara lirih yang terus menggema, menghapus gelap dan membuka jalan bagi terang. Di balik kesunyian itu, tersembunyi kekuatan besar yang menggerakkan perubahan, membuktikan bahwa keadilan tak selalu perlu teriak, tapi cukup mengalir dengan pasti.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Perjuangan Dan Cerita Perlawanan Robert Hendra Sulu, S.H.: Jumat Kelabu 1997 (Part 2) — Dari Kolam Sunyi yang Mengalirkan Keadilan

 

Pondok Anyaman Bambu dan Kolam Sunyi yang Mengalirkan Keadilan

Dalam balutan kemeja flanel lusuh, ia mengenang masa lalu dengan sorot mata tajam dan suara penuh keyakinan, menandakan bahwa semangat perlawanan itu masih menyala hingga hari ini. “Dulu tempat ini sepi. Sunyi. Yang terdengar cuma bunyi mesin pompa air,” ujar Robert sambil menatap ke arah kolam ikan di belakang rumahnya. Ia menunjuk ke sebuah titik di bawah pohon tempat mesin pompa dulu berdengung keras.

Mesin itu milik Haji Atmo, seorang tokoh lokal yang memanfaatkan pompa air untuk menyiram bunga di kebunnya. Saat Robert pertama kali datang, ia bukan bagian dari masyarakat sekitar. Tapi ia tak tinggal diam. “Saya menjaga dia, karena dia orang baik,” katanya pelan.

Dari irigasi yang mengalir di atas, kenangan masa kecilnya mengalir kembali. “Waktu kecil di kampung, kami biasa ambil air pakai bambu. Atau pakai selang kecil—diisap, baru ditaruh. Di sini saya terapkan itu. Saya ajak masyarakat pasang pipa, tarik air dari atas.” Hasilnya, air mengalir tanpa suara, tanpa mesin, tanpa ribut. “Orang bingung, air ini dari mana?”

Saat masyarakat mulai melihat manfaatnya, mereka ikut serta. Mereka mulai membangun kolam. Belakangan, sistem pengairan itu bahkan digunakan di tempat lain. Ia tak menyangka, ide sederhana itu justru menjadi titik balik keterlibatannya di komunitas.

Robert mulai mempelajari lebih dalam soal budidaya ikan di Kota Malang. “Saya belajar pelihara ikan dulu di Malang,” ujarnya. “Mulanya saya hanya ingin tahu, tapi ternyata keterlibatan saya semakin dalam.”

Satu hari, ia menerima undangan resmi dari Dinas Perikanan Provinsi. “Waktu itu undangan resminya ditujukan untuk: Yang Terhormat Insinyur Robert Hendra Sulu,” katanya sambil tergelak. “Padahal saya sarjana hukum!” lanjutnya, masih sambil tertawa lebar.

Kolam-kolam ikan di sekitar rumahnya bukan sekadar tempat usaha. Ia menyebutnya sebagai bukti nyata kontribusinya. “Karya saya nyata. Di sinilah saksi bisu bicara banyak.

Mesin tik manual Brother 2230 ini tersimpan dan terawat dengan baik di sudut ruang kerja Robert Hendra Sulu, S.H. Sejak era 1990-an, alat ini menjadi saksi bisu perjuangannya mengetik berbagai gugatan hukum demi membela masyarakat kecil.

Di Sini Saya Mengetik Gugatan Itu

Robert menunjuk ke sebuah bangunan kayu di samping rumah panggung. Di situlah kantornya berada. “Orang sering heran, kok kantor pengacara di dalam kampung, dekat kolam?” Tapi bagi Robert, justru itulah filosofinya. “Kalau orang datang ke tempat saya, berarti dia benar-benar butuh bantuan.”

Di dalam pondok kecil itulah ia mengetik gugatan-gugatan hukum. “Mesin tik saya masih ada—merk Brother. Di situ saya ketik gugatan terhadap pelanggaran hak masyarakat. Semua saya lakukan dari sini,” jelasnya.

Pondok kecil itu, dibangun sekitar tahun 1990-an, tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal. Di sisi kiri rumah, Robert menyiapkan ruang khusus sebagai kantor hukum. Dinding-dinding bambunya sederhana, tapi menyimpan jejak langkah advokat yang pernah menggugat lembaga besar demi membela satu warga kecil.

Robert bercerita, “Lantai dan dinding rumah ini dibuat dari kayu ulin yang kuat dan tahan lama, sehingga rumah ini kokoh menahan waktu. Sedangkan dinding bagian dalamnya dihiasi anyaman bambu yang sederhana tapi sarat makna tradisi dan kehangatan.”

Saat Pintu Itu Dibuka untuk Munir

“Munir pernah berkunjung ke sini,” kenang Robert, suaranya merendah sejenak, seolah memberi ruang bagi ingatan yang tak lekang oleh waktu. Sambil menatap dinding bambu yang mulai menguning dimakan usia, ia berujar lirih, “Rumah ini adalah sejarah.” Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan halaman belakang, hanya sesekali terdengar gemericik air dari kolam ikan. Tidak ada yang berubah sejak 1997. Dinding bambu itu masih sama, lantai kayu itu masih menyangga berat langkahnya tiap pagi, dan mesin tik tua di sudut meja masih setia menjadi saksi bisu perjuangan hukumnya. “Saya biarkan tetap seperti ini, karena di sinilah semuanya bermula,” ujarnya pelan.

Rumah kayu milik Robert Hendra Sulu, S.H. di Mentaos Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Di teras rumah inilah almarhum Munir Said Thalib, aktivis HAM dan Ketua YLBHI saat itu, pernah berkunjung pada 1997

Sosok almarhum Munir Said Thalib—aktivis hak asasi manusia sekaligus Ketua YLBHI saat itu—bukan sekadar nama besar dalam sejarah hukum Indonesia. “Padahal saat itu kami sedang berhadapan dalam satu kasus hukum,” ujar Robert sambil melirik pagar kayu tua yang berukir khas dan mulai dimakan usia di teras rumah, seakan berharap bayangan Munir masih duduk di sana. Tapi yang datang waktu itu bukanlah seorang lawan, melainkan seorang pejuang yang membawa rasa hormat. “Ia hadir bukan sebagai pihak yang hendak menundukkan, tapi sebagai sahabat keadilan,” tambahnya.

 

Robert terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Saat itu Munir tidak banyak bicara. Dia hanya bilang, ‘Kamu orang baik,’ sambil mengacungkan jempol.”

Matanya berkaca-kaca. Air mata hampir saja menetes saat mengenang momen itu. “Saya tidak pernah lupa kata-katanya,” ujarnya lirih.

 

Robert tak pernah kehilangan kekaguman. “Saya tahu saya sedang berhadapan dengannya, tapi sulit untuk tidak menghormati semangat dan integritasnya.” Pertemuan singkat di rumah kayu itu justru mempertegas keyakinan Robert: bahwa keadilan tak harus berdiri di satu sisi—selama diperjuangkan dengan jujur, semua sisi bisa membawa kebenaran.

Kini, suara mesin pompa air sudah lama tak terdengar. Air tetap mengalir, tenang, dari irigasi di atas, melalui pipa-pipa yang dulu ia pasang bersama warga. Di halaman, pohon-pohon tumbuh rindang. Di baliknya, kolam-kolam ikan bergerak pelan, seperti napas yang menenangkan.

Kolam ikan tradisional di belakang rumah kayu milik Robert Hendra Sulung, S.H. di Mentaos, Banjarbaru.

Di tempat inilah Robert Hendra Sulu, S.H., membuktikan bahwa keadilan bisa tumbuh dari pondok bambu, dari suara sunyi yang tak pernah berhenti mengalir.

“Bukan soal besar kecilnya tempat, tapi seberapa jauh ia bisa memberi arti bagi orang lain.” — Robert Hendra Sulu, S.H. (Om – Anwar)

**Eni/Red**

Reporter: NING SULIS