BANYUWANGI – detektifinvestigasi.gwi.com | Suasana berbeda terlihat di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Banyuwangi pada Jumat pagi, 6 Juni 2025. Di balik tembok tinggi dan jeruji besi, gema takbir berkumandang, menandai dimulainya sholat Idul Adha bagi lebih dari 500 warga binaan. Namun, apakah perayaan ini sekadar simbolis, atau ada makna lebih dalam yang sedang dibangun oleh pihak Lapas?
Dalam pantauan tim investigasi detektifinvestigasi.gwi.com, kegiatan dimulai sejak pukul 06.00 WIB. Ratusan warga binaan mengenakan pakaian terbaik mereka dan berkumpul di Lapangan Tenis Blok Timur yang disulap menjadi area sholat id. Seusai ibadah, kegiatan berlanjut dengan pemotongan hewan qurban di area brandgang—area yang biasanya menjadi jalur evakuasi darurat.
Namun, di balik kegiatan spiritual ini, muncul beberapa pertanyaan mendalam: siapa yang menyumbangkan hewan qurban sebanyak itu kepada institusi yang notabene adalah lembaga pemasyarakatan? Dan bagaimana pendistribusiannya dilakukan secara adil kepada warga binaan?
Kalapas Banyuwangi, I Wayan Nurasta Wibawa, menjelaskan bahwa total hewan qurban yang terkumpul tahun ini mencapai 17 ekor, terdiri dari 3 sapi dan 14 kambing, yang berasal dari sejumlah instansi, rekanan lapas, masyarakat sekitar, hingga warga binaan sendiri. “Ini merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap para warga binaan kami,” ujarnya.
Kepedulian masyarakat terhadap narapidana tentu bukan hal baru, namun skalanya yang cukup besar di tahun ini patut dicermati. Apakah ini bentuk sinyal positif atas keberhasilan program pembinaan Lapas, ataukah bagian dari pencitraan?
Lebih lanjut, pihak Lapas menyebut bahwa daging qurban akan didistribusikan kepada seluruh warga binaan, baik dalam bentuk olahan maupun mentah untuk dibuat sate. Namun, dalam investigasi kami, muncul sejumlah testimoni dari warga binaan yang mengeluhkan tidak meratanya distribusi tahun-tahun sebelumnya.
“Saya berharap tahun ini lebih adil. Tahun lalu saya hanya dapat dua tusuk sate,” ujar salah satu narapidana berinisial D, yang meminta identitasnya disamarkan.
Kalapas menegaskan bahwa tahun ini distribusi akan dilakukan lebih ketat dan transparan. Ia juga menekankan pentingnya perayaan Idul Adha sebagai momen refleksi dan pembinaan moral. “Dengan rasa syukur, mereka bisa lebih tenang menjalani pidana. Itu yang kami tekankan,” tambahnya.
Dalam penelusuran lebih lanjut, detektifinvestigasi.gwi.com menemukan bahwa program keagamaan di Lapas Banyuwangi telah menjadi bagian dari strategi pembinaan jangka panjang. Salah satu tujuannya: menurunkan angka pelanggaran di dalam lapas dan menyiapkan warga binaan kembali ke masyarakat.
Namun, efektivitas program ini belum pernah dipublikasikan secara terbuka. Data tingkat residivis pasca-pembebasan juga tidak tersedia untuk publik, menyisakan ruang tanya akan seberapa jauh kegiatan keagamaan ini berkontribusi pada pembentukan ulang moral narapidana.
Di akhir kegiatan, bau sate dan daging qurban memenuhi udara. Warga binaan terlihat tersenyum—setidaknya hari itu, mereka bukan sekadar narapidana, melainkan juga bagian dari umat yang tengah merayakan pengorbanan, harapan, dan kebersamaan.
Investigasi kami belum selesai. Kami akan terus memantau apakah semangat Idul Adha ini benar-benar menjadi titik balik bagi pembinaan, atau sekadar tradisi tahunan tanpa transformasi jangka panjang.
Laporan: Eny | detektifinvestigasi.gwi.com