Deli Serdang, 10 Juni 2025 – Dugaan penghalangan terhadap kebebasan pers kembali mencuat ke permukaan. Kali ini terjadi di lingkungan institusi penegak hukum itu sendiri—Polresta Deli Serdang. Sejumlah awak media online yang hendak meliput Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait eksekusi pengosongan lahan di Gedung Aula Tribata, justru diusir dan dilarang meliput oleh sejumlah oknum aparat. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Polresta Deli Serdang kini menjadi lembaga yang alergi terhadap transparansi dan kontrol publik?
RDP yang Tertutup: Proses Hukum atau Upaya Pengaburan Fakta?
Awak media hadir atas undangan salah satu warga yang berkepentingan dalam RDP yang difasilitasi oleh Polresta Deli Serdang dan melibatkan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Kehadiran jurnalis bertujuan menjalankan tugas konstitusional—meliput dan menyampaikan informasi kepada publik. Namun, sesaat setelah memasuki ruang rapat bersama masyarakat dan kuasa hukum, mereka diperintahkan keluar ruangan oleh sejumlah personel polisi tanpa penjelasan yang jelas.
Ketika dikonfirmasi, oknum tersebut hanya memberikan jawaban normatif: “Yang tidak berkepentingan harap keluar.” Penolakan ini dianggap tidak hanya mengabaikan etika pelayanan publik, tetapi juga menabrak hukum secara terang-terangan.
Pelanggaran terhadap UU Pers?
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta. Namun, regulasi ini tampaknya dianggap angin lalu oleh oknum Polresta Deli Serdang.
“Sikap ini bukan hanya arogansi kekuasaan, tapi bentuk pembangkangan terhadap hukum yang dibuat negara,” tegas salah satu jurnalis yang turut hadir dan menjadi korban pelarangan.
Simbol Persisi Hanya Pajangan?
Logo dan semboyan Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) yang menjadi kebanggaan institusi Polri seolah hanya menjadi jargon tanpa makna di Deli Serdang. Jika media yang merupakan mitra strategis kepolisian dalam menyampaikan informasi ke publik justru diperlakukan layaknya musuh, maka wajar jika publik mulai mempertanyakan: ada apa yang disembunyikan?
Tanggung Jawab Kapolresta dan Kapolda?
Kapolresta Deli Serdang, Kombes Pol Hendra Lesmana, S.I.K., M.Si., ketika dikonfirmasi awal media beliau tidak merespon sama sekali. Sejumlah awak media berpendapat “tidak mungkin tidak mengetahui bahwa kerja jurnalistik dilindungi undang-undang.” ucap salah seorang awak media. Jika larangan ini dilakukan atas sepengetahuannya, maka itu menjadi tamparan serius bagi wajah penegakan hukum dan demokrasi lokal. Jika tidak, maka dugaan adanya kultur anti-media di tubuh Polresta Deli Serdang perlu segera dibongkar.
Tuntutan Investigasi dan Evaluasi Aparat
Kami mendesak Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto, S.H., S.I.K., M.Si., untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan investigasi internal terhadap perilaku oknum Polresta Deli Serdang yang diduga telah melanggar prinsip-prinsip keterbukaan publik dan kebebasan pers.
Transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban. Jika aparat penegak hukum mulai menutup diri dari pantauan media, maka bukan hanya demokrasi yang terancam—tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan negara.
Laporan Investigasi: M. Zulfahri Tanjung