MEDAN – detektifinvestigasigwi.com | Ada yang tidak beres di balik sengketa tanah di Kota Medan. Aksi massa yang digelar Aliansi Mahasiswa Bergerak Bersama Rakyat (AMBARA) di depan kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Selasa (17/6/2025), bukan sekadar unjuk rasa. Itu adalah alarm peringatan: ada kekuatan besar yang mencoba “mencuci” sertifikat ilegal melalui lembaga hukum.
Kasusnya bermula dari Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 557/Sei Renggas Permata atas nama dr. T. Nancy Saragih, yang diterbitkan pada 25 September 2013 oleh Kantor Pertanahan Medan. Luas tanahnya: 887 meter persegi. Tapi data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan, tanah itu sudah bersertifikat sejak 1965. Dan sertifikat lama itu tidak pernah dibatalkan secara hukum.
Sertifikat Tumpang Tindih: Kebetulan atau Skema Terstruktur?
Penerbitan sertifikat ganda bukan hanya kesalahan administratif. Ini skenario. Dan seperti biasa, aktor-aktornya bukan orang sembarangan. Data yang dikantongi AMBARA menunjukkan bahwa ada keterlibatan internal birokrasi, permainan di balik meja, dan diduga bahkan melibatkan “pemain” di lingkaran peradilan.
Mahasiswa menyebut proses terbitnya SHM 557 melompati prosedur hukum dan logika pertanahan. Sertifikat baru keluar, tanpa pembatalan sah terhadap sertifikat lama. Ini bukan kecolongan; ini rekayasa.
“Kami tidak sedang bicara soal tanah. Kami sedang bicara soal skema sistematis: bagaimana mafia tanah menginjak hak warga dengan stempel legal,” kata Rafi Siregar, orator utama aksi.
PTUN dalam Sorotan: Perkara 129/G/2024/PTUN-MDN Disinyalir Jadi Panggung
Perkara sengketa ini saat ini tengah disidangkan di PTUN Medan dengan nomor: 129/G/2024/PTUN-MDN. Tapi ada keganjilan mencolok. Keputusan BPN Kanwil Sumatera Utara yang membatalkan SHM 557 lewat SK No. 15/Pbt/BPN.12/IX/2024 tertanggal 27 September 2024, justru digugat oleh pihak pemegang sertifikat baru.
Pihak mahasiswa menduga ada upaya dari pemilik SHM 557 untuk memutihkan status sertifikat yang cacat tersebut melalui keputusan PTUN. Yang menjadi sorotan: siapa yang membela kepentingan hukum rakyat dalam persidangan ini?
“Kalau hakim memenangkan pihak yang dokumennya jelas-jelas bermasalah, maka ini bukan sekadar putusan salah—ini preseden berbahaya bahwa mafia tanah bisa beli legalitas,” ujar Rafi.
Mafia Tanah + Peradilan: Koalisi Gelap yang Nyaris Tak Tersentuh
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa praktik semacam ini bukan insiden tunggal. Medan, seperti juga Jakarta dan Surabaya, telah lama menjadi ladang subur bagi mafia tanah. Modusnya seragam:
- Cari lahan strategis yang sudah lama tidak dijaga pemilik aslinya.
- Terbitkan sertifikat baru dengan cara menyuap atau memalsukan dokumen.
- Gunakan pengadilan untuk memutihkan status dengan dalih “sengketa administrasi”.
Dan ironisnya, hakim-hakim yang seharusnya menjadi garda terakhir keadilan, justru berpotensi menjadi alat permainan. AMBARA dengan tegas meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial turun tangan.
“Jika perkara ini jatuh ke tangan mafia tanah, maka PTUN Medan harus dianggap bagian dari jaringan itu. Kami tidak akan diam,” tegas Rafi.
Respon PTUN: Normatif dan Dingin
Saat perwakilan massa diterima oleh Humas PTUN Medan, Andi Hendra Dwi Bayu Putra, SH, dan Fajar Sidik, SH, MH, jawaban yang diberikan datar: mereka tidak bisa intervensi putusan hakim, dan menyarankan pihak yang keberatan agar mengadu ke MA.
Tapi mahasiswa tidak puas. “Jawaban normatif bukan solusi. Kami tidak bicara prosedur. Kami bicara keadilan yang sedang dibeli,” kata salah satu peserta aksi.
Catatan Akhir: Tanah Rakyat Bukan Komoditas Mafia
Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana tanah rakyat bisa digelapkan lewat permainan dokumen dan disucikan lewat vonis. Ini adalah bentuk kekerasan hukum yang membungkus perampasan dengan bahasa yuridis.
Dan yang paling berbahaya: jika pengadilan tidak memutus dengan jujur, maka sertifikat palsu akan menjadi bukti legal. Itulah cara mafia tanah menang, bukan di lapangan, tapi di ruang sidang.
Catatan Investigatif:
Tim sedang menelusuri keterlibatan pihak-pihak yang terhubung dengan penerbitan SHM 557 dan relasi mereka dengan pengurus perkara di PTUN. Informasi tambahan akan dibuka jika ditemukan aliran dana, afiliasi politik, atau koneksi struktural yang mengarah pada dugaan korupsi peradilan.