Stabat, 19 Juni 2025 | investigasigwi.com – Pengadilan Negeri Stabat, Kamis (19/6/2025), menjadi saksi bisu dari sebuah drama kelam penuh darah dan dendam. Gembira Surbakti (41), pria yang seharusnya menjadi panutan keluarga, justru berdiri sebagai terdakwa dalam kasus pembunuhan brutal terhadap menantunya sendiri, Frandi Sembiring (26). Sosok yang selama ini dikenal tenang di permukaan, kini terbongkar memiliki sisi gelap yang begitu mematikan.
Rencana Pembunuhan yang Dibungkus Alibi Dangkal
Di hadapan majelis hakim, Gembira mencoba merangkai alibi. Ia mengaku hanya hendak pulang mengambil air minum dari kebun, namun justru membawa kelewang yang baru diasah — siap menebas siapa saja. Alibi ini dengan cepat menuai keraguan. Apa perlunya membawa senjata tajam yang diasah tajam hanya untuk mengambil air?
Gembira sempat menggumam kesal saat mendengar suara pintu dibanting dari rumah Frandi: “Apalagi mau orang-orang ini?” Sebuah kalimat pendek, namun sarat muatan emosional dan ancaman. Kata-kata ini menjadi benih dari tragedi yang akan merenggut nyawa seorang menantu yang tak berdaya.
Jaksa menilai, alasan Gembira kembali ke rumah hanyalah dalih. Kelewang yang dibawanya menjadi bukti tak terbantahkan: pembunuhan ini dirancang, tidak spontan.
Sikap Dingin dan Dendam yang Mengakar
Selama persidangan, Gembira tidak menunjukkan ekspresi penyesalan mendalam. Raut wajahnya datar, nyaris tak bergeming, bahkan ketika dihadapkan dengan istri dan anak korban. Fakta bahwa ia melakukan pembantaian di depan keluarga Frandi menunjukkan betapa dingin dan tidak manusianya tindakan ini.
Terdakwa juga mengakui telah menebas korban berulang kali. Tanpa belas kasihan, ia mengayunkan kelewang ke tubuh menantunya sendiri, seperti binatang buruan, bukan manusia. Bahkan ketika saksi menyebut ancaman “Ku bunuh kalian semua!” yang dilontarkannya sebelum kejadian, Gembira tidak membantah.
Tuduhan Tak Berdasar dan Fitnah Berbalut Kepentingan Pribadi
Lebih dari sekadar kemarahan sesaat, motif Gembira diduga berkaitan dengan upaya mengalihkan kesalahan atas pencurian buah kelapa sawit di kebun tempat mereka bekerja. Ia sebelumnya menuduh Frandi sebagai pengguna narkoba dan pencuri sawit. Namun, investigasi kami menemukan rekaman video yang memperlihatkan Gembira sendiri memanen sawit secara ilegal di malam hari.
“Dia fitnah korban agar tidak dicurigai majikannya. Frandi jadi kambing hitam,” ungkap seorang warga yang tak ingin disebutkan namanya.
Dugaan ini semakin memperkuat asumsi bahwa pembunuhan ini bukan hanya soal dendam pribadi, melainkan tindakan terencana untuk membungkam orang yang tahu terlalu banyak.
Keluarga Korban Menjerit, Terdakwa Tetap Membeku
Istri korban, Mayang Rianti, yang juga anak angkat terdakwa, menangis histeris di luar persidangan. “Dia bukan manusia, dia pembunuh suamiku! Hukum seberat-beratnya!” teriaknya sembari ditenangkan keluarga lain.
Tangis keluarga pecah saat peristiwa dibeberkan di ruang sidang. Gembira tetap membisu. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada air mata. Yang tersisa hanya wajah keras tanpa penyesalan, seolah menganggap kematian Frandi sebagai harga yang pantas.
Tuntutan Maksimal: Hukuman Mati di Depan Mata
Jaksa menjerat Gembira dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, subsider Pasal 338 KUHP. Ancaman maksimalnya: hukuman mati. Jaksa menyatakan bahwa pembunuhan dilakukan dengan penuh kesadaran dan kehendak untuk menghabisi nyawa korban.
“Ini bukan kealpaan, ini niat. Kelewang yang dibawa bukan untuk jaga diri, tapi untuk membunuh,” tegas para pengunjung.
Sidang akan kembali dilanjutkan Kamis depan (26/6) dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak terdakwa. Namun publik bertanya-tanya: dengan semua bukti dan pengakuan yang ada, haruskah kita menunggu lebih lama untuk menegakkan keadilan?
Reporter: Tim mediainvestigasigwi.com
Editor: ZoelIdrus
© detektifinvestigasigwi.com 2025