Jakarta, detektifinvestigasigwi.com — Klaim besar Polri dalam mendukung swasembada pangan kembali disorot setelah Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo memimpin penanaman jagung serentak di 36 wilayah Indonesia, Rabu (9/7/2025). Penanaman yang diklaim mencakup 795.339,53 hektare lahan ini menuai pertanyaan serius dari berbagai kalangan: benarkah ini solusi untuk ketahanan pangan atau hanya simbol politik menjelang tahun strategis?

Scroll Untuk Lanjut Membaca
[Detektif Investigasi GWI] – Proyek Jagung Kapolri: Ketahanan Pangan atau Panggung Kepentingan?

 

Acara puncak digelar di Hutan Selo Lestari, Desa Selojari, Kecamatan Klambu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Hadir dalam seremoni tersebut sejumlah tokoh politik: Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Soeharto, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, dan Menteri Perhutanan Raja Juli Antoni. Sementara di 35 wilayah lainnya, kegiatan dilakukan secara virtual.

 

Di Jawa Tengah, Polri mengklaim 220 petani akan menggarap 38.750,14 hektare lahan — atau jika dihitung, satu petani bertanggung jawab atas lebih dari 175 hektare. Angka yang tak masuk akal dan menimbulkan keraguan terhadap validitas data program ini.

“Jika rasio petani dan luas lahan seperti itu, maka publik berhak curiga apakah ini benar-benar dijalankan atau hanya proyek pencitraan. Apalagi jelang 2025 ini suhu politik mulai meningkat,” ungkap seorang pengamat kebijakan pangan kepada tim Detektif Investigasi GWI.

 

Kapolri menyebut penanaman kuartal III ini mencakup 168.432,23 hektare, terdiri dari 117.510,29 hektare lahan perhutanan sosial yang telah ditanami, 48.082,40 hektare lahan produktif, dan 2.839,54 hektare lahan yang baru ditanami hari itu.

 

Namun publik belum pernah mendapat laporan audit terbuka terkait program serupa yang telah digelar sebelumnya. “Dari mana kita tahu hasil panennya? Siapa yang menyerap? Berapa ton yang berhasil dijual dan ke mana?” tanya aktivis agraria yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Tanpa Panggung.

Dalam keterangannya, Kapolri juga menyebut pembangunan 18 gudang pangan Polri di 12 provinsi dengan kapasitas 18.000 ton. Gudang-gudang tersebut dilengkapi dryer untuk mempercepat pengeringan jagung pipil. Namun, tak ada rincian tentang lokasi, alokasi anggaran, hingga mekanisme distribusi dan transparansi pengelolaan gudang tersebut.

 

Tak cukup sampai di sana, Polri juga disebut akan menambah gudang dan menyediakan alat pipil serta dryer mobile untuk berbagai kelompok tani. Tapi hingga kini, belum ada data resmi yang diumumkan soal siapa penerima bantuan tersebut dan bagaimana monitoring-nya.

 

“Ini rawan dijadikan celah permainan anggaran dan penyalahgunaan wewenang. Ketika institusi keamanan masuk terlalu dalam ke wilayah teknis pertanian dan distribusi pangan, maka kontrol publik harus lebih ketat,” ungkap Direktur Eksekutif LSM Pangan Jujur Indonesia.

Terkait penyerapan hasil panen, Kapolri menyebut Bulog sebagai mitra utama. Namun jika gudang Bulog penuh, penyerapan akan dialihkan ke pihak swasta. Lagi-lagi, siapa pihak swasta tersebut dan bagaimana mekanisme kerja samanya, belum ada penjelasan rinci.

 

Tim Detektif Investigasi GWI akan terus mengusut aliran dana, pelaksanaan program di lapangan, serta dampaknya terhadap petani. Kami juga akan menelusuri jejak proyek ini dari hulu hingga hilir untuk memastikan apakah ini betul murni program ketahanan pangan, atau justru alat kapitalisasi politis yang dibalut bendera kesejahteraan rakyat.

 

Karena bagi kami, ketahanan pangan bukan soal seremoni menanam, tetapi bukti nyata siapa yang panen, siapa yang kenyang, dan siapa yang diuntungkan. (Red)

Reporter: ZULKARNAIN IDRUS