“Ben Wong Cilik Nderek Bungah, Ojo Mung Gaya-Gayaan!”
Kebumen |detektifinvestigasigwi.com- Duka menyelimuti ajang Geopark Trail Run (GTR) Kebumen 2025. Seorang peserta asal Jepara yang mengikuti kategori 7 kilometer, dikabarkan meninggal dunia usai mencapai garis finis, Minggu siang (13/7/2025). Peserta sempat mengeluh merasa tidak enak badan saat menempuh kilometer ketiga, dan meskipun sempat dilarikan ke rumah sakit, nyawanya tak tertolong.
Peristiwa ini langsung menuai sorotan tajam publik, tidak hanya karena insiden tragis tersebut, tapi juga menyangkut transparansi dan kepatutan pelaksanaan acara. Informasi dari sejumlah sumber menyebutkan bahwa ajang GTR tersebut digelar dengan sokongan dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar Rp 3 miliar. Angka fantastis ini mengundang pertanyaan besar dari masyarakat, khususnya terkait peruntukan dan manfaatnya bagi rakyat kecil di Kebumen.
🎙️ Pernyataan Kritik Berbahasa Jawa (Dialek Kebumen) :
> “Anggarane nganti telung miliar, lha kuwi kanggo apa wae? Wong cilik ora krasa manfaaté. Kenapa ora digelar nang Alun-alun Pancasila, ben rakyat iso melu bungah? Saiki mung dadi ajang pamer, ora ndang nyemangati wong kebanyakan. Ndang dibuka transparansiné, mas Josh, Pakdhe Hargo. Nek mbiyen ana acara kaya ngono, paling ora ngundang band joss, ben rakyat krasa diopeni. Saiki? Babar blas ora ana gregeté”.
> “Anggarannya sampai tiga miliar, untuk apa saja itu? Rakyat kecil tidak merasakan manfaatnya. Kenapa tidak digelar di Alun-alun Pancasila, supaya masyarakat bisa ikut bersuka cita? Sekarang hanya jadi ajang pamer, tidak memberikan semangat pada rakyat kebanyakan. Tolong dibuka transparansinya, Mas Josh, Pakde Hargo. Dulu kalau ada acara seperti ini, paling tidak mengundang band besar, supaya rakyat merasa diperhatikan. Sekarang? Sama sekali tidak ada gregetnya.”
Kritik juga datang dari tokoh masyarakat dan aktivis yang mempertanyakan pemilihan lokasi acara yang dianggap eksklusif dan membatasi akses publik. Alun-alun Pancasila yang dahulu menjadi ruang kebersamaan, kini jarang difungsikan untuk kegiatan rakyat. Beberapa pihak bahkan menilai pemerintah saat ini lebih memilih simbolisme dan citra daripada substansi dan manfaat konkret bagi masyarakat.
Sujud Sugiarto, salah satu warga Kebumen yang dikenal vokal dalam menyuarakan kepentingan wong cilik, melontarkan kritik tajam terhadap gaya kepemimpinan saat ini:
> “Beda pemimpin beda karakter. Sing mbiyen pemimpine rela ndadagi, ndadani lan melayani tanpa hitung-hitungan. Sing saiki? Koyoké mung ngoyak pencitraan, dudu pengabdian.”
(Terjemahan: “Beda pemimpin beda karakter. Yang dulu pemimpinnya rela memperjuangkan, memperbaiki, dan melayani tanpa perhitungan untung rugi. Yang sekarang? Sepertinya cuma mengejar pencitraan, bukan pengabdian.”)
Tragedi ini diharapkan menjadi momen refleksi, tidak hanya untuk penyelenggara, tapi juga bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan dan keselamatan masyarakat, bukan hanya sekadar kemasan event dan sorotan media.
(Red/Reporter : Tim/Sumber : Warga, Aktivis Dan Dokumentasi Lapangan)