Jakarta |detektifinvestigasigwi.com- Pada hari kamis 31 juli 2025, pelatihan juru bicara dan pengelolaan media sosial ini, merupakan bagian dari strategi Mahkamah Agung. Untuk memperkuat jangkauan komunikasi kelembagaan, dan menjawab kebutuhan publik secara inklusif dan cepat.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Highlights Pelatihan Juru Bicara : Prinsip Silent Corps Dan Peran Hakim Sebagai Jubir.

Juru bicara bukan sekadar tukang baca rilis, melainkan wajah, suara, dan denyut nadi pengadilan di hadapan publik. Demikian disampaikan oleh salah satu narasumber pada Pelatihan Juru Bicara dan Pengelolaan Media Sosial yang digelar secara daring pada Selasa (29/7) .

Pelatihan Juru Bicara dan Pengelolaan Media Sosial ini, merupakan bagian dari strategi Mahkamah Agung untuk memperkuat jangkauan komunikasi kelembagaan dan menjawab kebutuhan publik secara inklusif dan cepat. Pelatihan dimaksud menghadirkan sejumlah narasumber kunci sebagai berikut:

1. Prof. Dr. Yanto, S.H., M.H., Hakim Agung dan Juru Bicara Mahkamah Agung,

2. Dr. H. Sobandi, S.H., M.H., Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (kini Kepala BUA MA),

3. Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., yang memaparkan tugas dan fungsi juru bicara,

4. Ishmah Purnawati, S.Ikom., M.Ikom., yang membahas pengelolaan media sosial di Mahkamah Agung,

5. Nur Azizah, S.S., M.Hum., yang memberikan materi pembuatan siaran pers.

Dalam pelatihan yang diikuti oleh 849 satuan kerja tersebut, Hakim Yustisial Mahkamah Agung, Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., membahas beberapa hal, di antaranya, kedudukan antara juru bicara dengan humas dan PPID di pengadilan, alasan dibalik penunjukan hakim sebagai seorang juru bicara, hingga prinsip silent corps dengan peran hakim sebagai juru bicara.

Lantas, apa saja poin pentingnya? Mari simak ringkasan selengkapnya sebagaimana Penulis uraikan di bawah ini.

Juru Bicara Pengadilan dengan Humas, Apakah Sama?

Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. dalam pemaparannya menjelaskan, juru bicara di pengadilan merupakan bagian dari kehumasan. Namun, ia menyebut, hal itu bukan hanya juru bicara saja. Penyedia informasi dalam hal ini panitera muda hukum dan pengelola media sosial di pengadilan turut menjalankan fungsi kehumasan.

Hakim Yustisial Mahkamah Agung itu menjabarkan, kata-kata ‘humas’ tidak bisa dilekatkan kepada orang, tetapi dilekatkan pada struktur jabatan sebagaimana yang saat ini hanya ada di Mahkamah Agung. Adapun di pengadilan, tidak memiliki struktur organisasi kehumasan, tetapi fungsinya dilekatkan kepada hakim dan panitera muda hukum.

Selanjutnya, ia menyebutkan empat alasan seorang hakim ditunjuk sebagai juru bicara di pengadilan, yaitu:

Pertama, menguasai masalah. Hal ini karena ketika hakim sebagai pelaksana core business di pengadilan, yang menguasai hukum formil atau hukum materiil, maka hakim dapat dikategorikan sebagai salah satu pejabat yang menguasai masalah teknis peradilan. Sebab berdasarkan hasil observasi, Riki Perdana menyebutkan, lebih dari 80% informasi yang diinginkan masyarakat adalah informasi penanganan perkara.

Kedua, status hakim. Ia menuturkan, sebagai seorang juru bicara di pengadilan, maka orang yang memiliki latar belakang profesi hakim yang menjadi seorang juru bicara sebagaimana di berbagai lembaga penegakan hukum lainnya, seperti juru bicara pada kepolisian/kejaksaan yang merupakan seorang polisi/jaksa.

Ketiga, kemampuan komunikasi. Seseorang yang menjadi juru bicara, Riki Perdana menyebut, tidak selalu seorang hakim senior. Oleh karena itu, diperlukan kecermatan dari ketua pengadilan untuk melihat kemampuan komunikasi yang dimiliki oleh seorang hakim.

Keempat, memiliki pengaruh. Umumnya, apabila hakim yang ditunjuk sebagai juru bicara adalah seorang putera daerah, maka juru bicara tersebut dapat memiliki pengaruh yang kuat dengan lingkungan sekitarnya.

Pengadilan Idealnya Memiliki Dua Juru Bicara

Di tengah pemaparan materinya, Riki Perdana menyarankan, idealnya di setiap pengadilan memiliki dua juru bicara dari dua majelis yang berbeda. Hal ini, agar hakim yang ditunjuk sebagai juru bicara tidak memiliki konflik kepentingan apabila informasi yang diminta, adalah perkara yang turut ditangani oleh juru bicara tersebut.

Kemudian ia turut menyinggung di Mahkamah Agung yang hanya mempunyai satu juru bicara. Hal tersebut tentunya berbeda, sebab Mahkamah Agung memiliki Biro Hukum dan Humas yang dapat menggantikan posisi juru bicara dalam penyampaian informasi tertentu.

Selanjutnya, Riki Perdana menuturkan, apabila dalam surat keputusan suatu pengadilan hanya menunjuk satu orang hakim sebagai juru bicara, maka ketua pengadilan dapat menunjuk juru bicara insidentil yang bersifat sementara.

Prinsip Silent Corps dan Peran Hakim sebagai Juru Bicara

Berkaitan dengan prinsip silent corps, Riki Perdana menuturkan, prinsip tersebut harus dikaitkan dengan prinsip kehumasan, yakni objektif. Apa itu objektif? Objektif adalah sikap dan penilaian yang didasarkan pada data dan fakta yang sebenarnya bukan berdasarkan penilaian pribadi dan asumsi, tidak memihak dan mengedepankan prinsip kesetaraan dan perlakuan yang sama dalam menyampaikan informasi.

Oleh karenanya, ia menjelaskan, juru bicara harus memberikan keterangan yang objektif, alih-alih memberikan pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan yang telah diatur secara tegas dalam Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) Butir 3.2 ayat (5).

“Juru bicara pengadilan hanya menyampaikan keterangan berdasarkan informasi yang didapat dari sumber informasi melalui panitera muda hukum. Keterangan yang bagaimana? Informasikan bahwa perkara sudah diputus oleh majelis pada tanggal kapan dan apa isi amar putusannya.” beber Riki Perdana.

Riki Perdana membagikan kiat bagi juru bicara pengadilan dalam menghadapi pertanyaan media, khususnya terkait keabsahan atau isi putusan. Ia menegaskan, juru bicara tidak berwenang memberikan komentar terhadap substansi putusan.

“Juru bicara cukup menjelaskan, putusan tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim berdasarkan penilaian hukum mereka. Di luar itu, juru bicara tidak dapat mengomentari isi putusan,” jelas Riki.

Ia juga menyoroti pentingnya kerja sama antara juru bicara dan panitera muda hukum dalam menyampaikan informasi kepada publik, terutama di pengadilan yang menangani banyak perkara.

“Dibutuhkan kolaborasi yang solid antara juru bicara dan panitera muda hukum. Di pengadilan dengan beban perkara tinggi, jangan sampai juru bicara harus mondar-mandir mencari berkas atau data perkara. Itu harus dikoordinasikan dengan baik,” tegasnya.

Perbedaan Kewenangan Juru Bicara dan PPID Pengadilan

Menutup paparannya, Riki Perdana menjelaskan perbedaan peran antara juru bicara dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di lingkungan peradilan.

Menurutnya, segala informasi yang sudah diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) Nomor 2-144 Tahun 2022 merupakan kewenangan panitera muda hukum sebagai PPID pengadilan.

Namun demikian, Riki menambahkan, apabila informasi yang diminta berkaitan dengan isu yang menjadi perhatian publik atau menyangkut persepsi terhadap pengadilan, maka hal itu perlu dijawab oleh hakim yang ditunjuk sebagai juru bicara.

“Tanpa juru bicara yang komunikatif, pengadilan bisa disalahpahami-bahkan sebelum sidang dimulai. Jadi ingat, sepandai-pandainya hakim menyusun putusan, kalau juru bicaranya diam seribu bahasa, bisa-bisa putusan dianggap keliru oleh warganet yang tidak memahami logika hukum,” pungkasnya.

(Red/Sumber Penulis : Nadia Yurisa Adila/Humas MA Jakarta)

Reporter: GWI Aceh Perwakilan GWI Aceh