Pandeglang |detektifinvestigasigwi.com- Hujan turun sebagaimana mestinya. Ia tidak pernah berjanji untuk berhenti tepat waktu, sebagaimana alam tidak pernah berkompromi dengan kelalaian manusia.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Banjir Yang Berulang, Nurani Yang Di Uji, Catatan Dari Patia, Untuk Presiden RI Ke-8, Prabowo Subianto.

Namun ketika hujan menjadi vonis—menggenangi rumah, melumpuhkan jalan, dan menahan nafkah—di situlah negara diuji. Jumat, 19 Desember 2025, Patia kembali tenggelam dalam kisah yang sama: banjir musiman yang berubah menjadi rutinitas tahunan. Desa Pasirgadung, Idaman, Cimoyan, Surianeun, Rahayu, dan wilayah sekitarnya kembali menanggung beban. Bukan sekadar air yang naik, melainkan harapan yang kerap surut.

Di media sosial, unggahan warga dan pemerintah desa bersahut-sahutan—bukan untuk mengabarkan sensasi, melainkan untuk menyelamatkan akal sehat: sampai kapan banjir ini menjadi langganan? di titik ini, filsafat publik mengajarkan satu hal sederhana: kekuasaan bukan semata mandat administratif, melainkan tanggung jawab moral. Bupati Pandeglang, R. Dewi Setiani, menjadi harapan baru. Ketika negara hadir hanya setelah bencana menjadi viral, maka yang bekerja bukan sistem, melainkan kebetulan. Padahal keadilan menuntut kebijakan yang mendahului, bukan sekadar menanggapi.

Banjir Patia bukan peristiwa tunggal. Ia adalah gejala. Drainase yang tak lagi memadai, tata kelola sungai yang terabaikan, alih fungsi lahan tanpa kendali, serta koordinasi lintas kewenangan yang sering terhenti di meja rapat—semuanya berkontribusi.

Maka solusi tidak cukup dengan pompa sesaat dan bantuan darurat yang datang terlambat. Diperlukan peta jalan: normalisasi dan pengelolaan sungai, perbaikan drainase berbasis DAS, penataan ruang yang berkeadilan, serta sistem peringatan dan respons cepat yang berfungsi.

Warga Patia, ketika banjir datang, kehilangan lebih dari sekadar akses. Aktivitas terhenti, anak-anak kesulitan belajar, lansia dan ibu hamil membutuhkan layanan kesehatan, dan dapur-dapur membutuhkan sembako. Bantuan pangan dan kesehatan bukan kemurahan hati—ia adalah kewajiban negara dalam situasi darurat. Di sini, negara diuji bukan oleh besarnya anggaran, melainkan oleh kecepatan nurani.

Harapan pun dititipkan ke tingkat yang lebih luas. kepada Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Pusat—Presiden Republik Indonesia (RI) ke-8 Prabowo Subianto —warga berharap Patia tidak lagi berada di barisan belakang prioritas.

Banjir yang berulang adalah argumen paling kuat bahwa intervensi struktural harus segera dilakukan. Bukan sekadar proyek, melainkan kebijakan lintas tahun yang diawasi dan diukur dampaknya.

Dalam etika kepemimpinan, ada prinsip responsibility to care: kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang melindungi. Ketika banjir menjadi langganan, yang diperlukan bukan pidato penenang, melainkan keputusan yang menyelematkan.

Patia tidak meminta hujan berhenti; Patia meminta negara bekerja. Semoga catatan ini dibaca bukan sebagai kritik semata, melainkan sebagai undangan untuk bertindak. Sebab di balik genangan air, ada manusia yang menunggu—bukan janji, melainkan kehadiran.

(Red)

Reporter: GWI Aceh Perwakilan GWI Aceh