Jakarta |detektifinvestigasigwi.com- R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa Indonesia berada di persimpangan penting dalam sejarah ekonominya. Negeri ini bukan sekadar kaya, tapi superkaya dalam sumber daya alam. Nikel, timah, batu bara, bauksit, kobalt, tembaga, emas, kelapa sawit, panas bumi, hingga zeolit, semuanya menempatkan Indonesia di posisi teratas dunia. Namun, fakta pahitnya, kekayaan ini belum sepenuhnya menjadi mesin kemajuan.
Menurut Haidar Alwi, inilah paradoks yang sudah terlalu lama menghantui bangsa. Potensi kita luar biasa, tetapi realisasi menjadi prestasi ekonomi yang mengangkat kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan. Di sinilah peran Presiden Prabowo Subianto sangat menentukan: memutus mata rantai pengelolaan SDA yang hanya jadi kebanggaan statistik dan mengubahnya menjadi kekuatan ekonomi nyata.
*Kaya Sumber Daya, Tapi Rakyat Belum Kaya.*
Data per Agustus 2025 berbicara lantang. Indonesia adalah produsen nikel nomor satu dunia dengan pangsa sekitar 54% produksi global. Timah berada di peringkat kedua, batu bara di peringkat ketiga, bauksit di peringkat kelima, kobalt di peringkat kedua, tembaga di peringkat ketujuh, emas masuk 10 besar, kelapa sawit memimpin pasar dunia, dan potensi panas bumi Indonesia adalah yang terbesar di dunia dengan kapasitas terpasang kedua setelah Amerika Serikat. Bahkan zeolit, komoditas industri yang jarang dibahas, menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia.
Namun, angka-angka ini tidak otomatis berarti rakyat sejahtera. Banyak komoditas diekspor dalam bentuk mentah atau setengah jadi, membuat nilai tambah terbesar justru dinikmati negara lain yang mengolahnya menjadi produk bernilai tinggi. Di sisi lain, sektor ekstraktif hanya menyerap kurang dari 1% tenaga kerja nasional, sementara fluktuasi harga global membuat ekonomi rentan terguncang setiap kali pasar melemah.
“Peringkat produksi global itu penting, tapi bukan tujuan akhir. Kalau rakyat di sekitar tambang tetap miskin, kalau anak-anak di desa penghasil nikel masih kesulitan sekolah, berarti ada yang keliru dalam pengelolaan,” tegas Haidar Alwi.
Haidar Alwi menilai, kebanggaan atas kekayaan alam harus diiringi kebijakan yang memastikan hasil bumi benar-benar memberi manfaat luas.
*Mengurai Penyebab Mandeknya Lompatan Ekonomi.*
Haidar Alwi memaparkan, ada beberapa akar masalah yang membuat kekayaan alam belum menjadi pendorong kemajuan.
*Pertama,* hilirisasi baru setengah jalan. Memang sudah banyak smelter dibangun, tapi rantai nilai belum tuntas sampai manufaktur akhir. Baterai kendaraan listrik, kabel tembaga high-spec, komponen elektronik, dan produk hilir berbasis sawit yang berdaya saing global belum menjadi tulang punggung industri nasional.
*Kedua,* tata kelola masih menyisakan celah rente. Perizinan tambang, pengaturan ekspor, dan pengawasan masih rawan praktik korupsi. Sejumlah kasus suap izin tambang, ekspor ilegal timah, dan manipulasi data produksi menjadi bukti nyata bahwa integritas sistem masih lemah.
*Ketiga,* kebijakan yang tidak konsisten. Larangan ekspor yang berubah-ubah tanpa peta jalan yang jelas menambah premi risiko bagi investor. Kasus gugatan WTO terhadap larangan ekspor nikel adalah pelajaran bahwa kebijakan harus dirancang dengan kalkulasi hukum dan diplomasi yang matang.
*Keempat,* biaya logistik yang tinggi. Peringkat Logistics Performance Index Indonesia masih di luar 60 besar dunia. Pelabuhan, jalur distribusi, dan sistem pengiriman belum efisien sehingga mengurangi daya saing produk.
*Kelima,* kualitas SDM dan riset yang tertinggal. Belanja R&D Indonesia hanya 0,28% PDB, jauh di bawah standar negara industri. Hasil asesmen pendidikan internasional menunjukkan kemampuan matematika, sains, dan literasi siswa masih di bawah rata-rata, menghambat kemampuan kita mengolah SDA menjadi produk teknologi tinggi.
“Masalah-masalah ini saling berkaitan. Tanpa pembenahan total, kekayaan alam bisa berubah menjadi kutukan sumber daya, bukan anugerah,” ujar Haidar Alwi.
*Pemerintahan Prabowo Subianto Pasti Bisa.*
Haidar Alwi menekankan bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki mandat rakyat dan kekuatan politik yang cukup untuk membawa perubahan besar. Tetapi keberanian harus diiringi strategi yang cerdas dan konsisten. Ia merinci beberapa langkah yang menurutnya realistis namun berdampak besar:
*1. Peta Jalan Hilirisasi hingga Produk Akhir.*
Jangan berhenti di smelter. Bangun ekosistem manufaktur akhir, mulai dari baterai EV, kabel tembaga high-spec, hingga produk berbasis sawit yang menembus pasar global.
*2. Reformasi Tata Kelola Perizinan.*
Terapkan e-cadastre izin tambang yang terbuka untuk publik, wajibkan pengungkapan pemilik manfaat sebenarnya (beneficial ownership), dan integrasikan pelaporan produksi ke sistem pajak dan bea cukai.
*3. Dana Abadi SDA.*
Bentuk Natural Resource Fund untuk menampung pendapatan windfall SDA. Alokasikan untuk pendidikan vokasi, riset terapan, dan infrastruktur produktif, bukan habis untuk belanja rutin.
*4. Dekarbonisasi Industri Ekstraktif.*
Alihkan pasokan energi smelter dari PLTU ke energi terbarukan untuk menghindari hambatan perdagangan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism Uni Eropa.
*5. Investasi Besar di SDM dan Riset.*
Naikkan belanja R&D menjadi minimal 1% PDB pada 2030, perluas program kemitraan SMK–industri SDA, dan undang kembali diaspora ahli teknologi untuk memperkuat kapasitas inovasi.
*Haidar Alwi menegaskan,* langkah-langkah tersebut bukan sekadar daftar teknis, melainkan arah politik ekonomi yang harus dipegang teguh. *“Kalau Presiden Prabowo menjalankan ini dengan integritas dan keberanian moral, kita bukan hanya bicara ekspor nikel atau sawit, tapi bicara martabat bangsa di mata dunia. Inilah saatnya potensi benar-benar menjadi prestasi,” pungkas Haidar Alwi.
(Red)