BANYUWANGI – BahriNews.id | Di saat sebagian besar lembaga pemasyarakatan di Indonesia masih berkutat dengan persoalan overkapasitas, pembinaan semu, dan fasilitas minim, Lapas Kelas IIA Banyuwangi justru melawan arus. Sebuah lahan dua hektare di bawah pengawasan mereka kini menjadi panggung panen raya padi — lengkap dengan seremoni, pernyataan visi nasional, dan kunjungan pejabat tinggi.
Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pemasyarakatan Jawa Timur, Kadiyono, memimpin langsung acara yang berlangsung Selasa (10/6) di Kelurahan Pakis, Banyuwangi. Ia menyebut panen raya ini sebagai bagian dari 13 Program Akselerasi Dirjen Pemasyarakatan yang mengacu pada Astacita Presiden Prabowo, khususnya dalam mewujudkan swasembada pangan.
Namun, di balik wacana besar dan slogan gemilang itu, tim investigasi BahriNews.id menelusuri: seberapa besar dampak riil program ini bagi warga binaan, dan apakah ini betul-betul terintegrasi dalam sistem pembinaan yang berkelanjutan, atau hanya sekadar proyek etalase?
Fakta Lapangan: Lahan Ada, Tapi Apakah Sistemnya Ada?
Dari penelusuran kami, lahan dua hektare yang dipanen kali ini memang telah dikelola sejak awal tahun. Lima warga binaan dilibatkan langsung dari tahap pengolahan hingga panen. Mereka dipilih melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) — sebuah prosedur yang lazim, namun tidak otomatis menjamin bahwa semua warga binaan punya akses yang sama.
Pertanyaan yang muncul: Mengapa hanya lima warga binaan yang dilibatkan dalam proyek seluas ini? Adakah seleksi berbasis merit atau justru karena keterbatasan sumber daya dan pengawasan? Apakah mereka dibekali sertifikasi pelatihan pertanian sebagai bekal pasca-bebas?
“Saya tidak tahu gimana cara masuk program itu,” ujar seorang warga binaan yang kami temui (identitas disamarkan). “Katanya harus tunggu rekomendasi TPP, tapi enggak semua dapat kesempatan.”
Stakeholder Terlibat, Tapi Siapa yang Bertanggung Jawab Hasilnya?
Lapas Banyuwangi menggandeng Dinas Pertanian dan Pangan setempat, juga mengaku mendapat dukungan dari TNI, Polri, dan unsur Forkopimda. Namun belum ada kejelasan mekanisme pengawasan hasil panen. Apakah hasil gabah akan dikembalikan untuk kebutuhan warga binaan? Dijual ke pasar? Atau sekadar menjadi “output” seremonial?
“Kami harap hasil panen bisa dimanfaatkan untuk ketahanan pangan internal Lapas,” kata Kalapas I Wayan Nurasta Wibawa. Namun saat ditanya soal sistem distribusi dan pencatatan hasil panen, tidak ada rincian yang bisa dibuka ke publik.
Apakah Bisa Direplikasi?
Kemenkumham memang memiliki program Sarana Asimilasi dan Edukasi (SAE) sebagai bagian dari transformasi pemasyarakatan. Tapi berdasarkan data dari Kanwil Ditjenpas sendiri, hanya segelintir Lapas/Rutan di Jatim yang memiliki lahan produktif seperti di Banyuwangi.
Artinya, keberhasilan ini bukan cerminan sistem nasional, melainkan anomali positif. Tanpa payung kebijakan yang jelas, tanpa anggaran yang pasti, dan tanpa evaluasi berkala, program ini rawan hanya menjadi proyek percontohan yang berhenti di spanduk dan publikasi media.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Lapas Produktif
Panen raya di Lapas Banyuwangi patut diapresiasi — itu pasti. Tapi apresiasi tidak boleh membuat kita buta terhadap celah dan potensi manipulasi data. Jika pemerintah serius menjadikan Lapas sebagai bagian dari ekosistem ketahanan pangan, maka perlu ada:
- Skema pembinaan berbasis kompetensi, bukan sekadar asimilasi.
- Transparansi hasil produksi dan distribusi.
- Standarisasi program SAE di seluruh Indonesia, dengan pengawasan publik.
Sampai semua itu berjalan, panen raya ini tetap layak disebut: proyek pionir, tapi belum tentu sistemik.
Laporan: Eny | Investigasi & Riset: Tim BahriNews.id