Scroll Untuk Lanjut Membaca
INVESTIGASI KHUSUS: Ketika Hukum Diterabas, Oknum Polisi Polres Tabalong Diduga Langgar Prosedur Demi Kepentingan Pribadi ASN

Tabalong, Kalimantan Selatan – detektifinvestigasigwi.com | Di tengah upaya Polri dan penegakan hukum yang transparan, sebuah peristiwa mencoreng wajah institusi penegak hukum di Tabalong. Diduga kuat, sejumlah oknum polisi dari Polres Tabalong melanggar prosedur hukum dan aturan Kapolri dengan melakukan tindakan intimidatif terhadap seorang warga tanpa dasar hukum yang sah.

Laporan investigasi ini mengungkap kronologi kejanggalan dan indikasi penyalahgunaan wewenang yang berakar dari konflik pribadi seorang ASN wanita berinisial AA, yang menjabat di Mal Pelayanan Publik Tabalong, dengan seorang pria berinisial (I)—yang menurut pengakuan AA adalah suaminya secara pernikahan siri, tanpa legalitas hukum negara.

Rekonstruksi Kejadian: Aksi Intimidasi Tanpa Dasar Hukum

Peristiwa terjadi di simpang lampu merah Sulingan, saat (I) tengah menuju pertemuan. Tanpa didahului surat panggilan, sekitar tiga kendaraan dinas Polres Tabalong membawa sekitar 10–15 anggota polisi langsung mendatangi lokasi. Mereka menarik (I) dari sebuah salon rambut secara paksa. Salah satu saksi mata menyatakan bahwa tindakan aparat dilakukan “seolah sedang menangkap pelaku kriminal kelas berat”, padahal tidak ada satu pun dokumen hukum yang ditunjukkan.

“Saya tanya mana LP-nya, mereka cuma bilang ‘ini urusan kami juga’. Saya bilang ini konflik keluarga, pernikahan siri pula. Polisi enggak punya dasar hukum. Saya wartawan, saya tahu hak saya,” ujar (I) kepada tim investigasi.

Lebih parah lagi, pihak polisi justru meminta AA membuat laporan polisi (LP) di tempat, setelah penindakan dilakukan. Hal ini jelas melanggar asas hukum acara pidana: LP harus menjadi dasar tindakan, bukan justru dibuat setelah aparat bertindak.

Pernikahan Siri Jadi Alat Tekanan

Menurut pengakuan AA kepada awak media, ia dan (I) telah menikah siri pada 28 Desember 2021. Status ini tidak memiliki kekuatan hukum di mata negara, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

Namun ironisnya, status hukum yang lemah ini justru digunakan sebagai alat tekanan untuk menarik mobil yang disebut sebagai “milik suami-istri”. Tindakan memaksa dan intimidatif untuk mengambil mobil tanpa putusan pengadilan dan tanpa LP resmi jelas bertentangan dengan hukum pidana dan perdata.

Dugaan Pelanggaran Berat Terhadap Aturan Kapolri

Tindakan aparat Polres Tabalong diduga melanggar sejumlah peraturan internal Polri, di antaranya:

  • Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri
  • Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana
  • UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, pasal 13 dan 14 soal fungsi dan kewenangan

Pelanggaran paling mencolok adalah: tidak adanya laporan polisi, tidak ada surat tugas, dan tindakan represif dalam konflik non-kriminal rumah tangga. Bahkan, kasus ini sempat mereda hanya setelah (I) menghubungi Propam Polda Kalsel dan Kapolda melalui pesan WA—indikasi bahwa tindakan aparat memang tanpa dasar hukum dan hanya mengandalkan tekanan fisik serta intimidasi.

Diamnya Institusi: Konspirasi Sistemik atau Kelalaian?

Hingga berita ini diturunkan, Polres Tabalong belum memberikan keterangan resmi. AA juga belum menjelaskan mengapa menggunakan jalur aparat dalam konflik rumah tangga yang secara hukum belum diakui negara. Pemerintah Kabupaten Tabalong pun belum menunjukkan sikap tegas terhadap ASN yang menggunakan kekuatan aparat untuk urusan pribadi.

Kasus ini memunculkan pertanyaan besar:
Berapa banyak lagi ASN dan pejabat publik yang menggunakan seragam aparat untuk menyelesaikan konflik pribadi? Apakah ini kasus tunggal, atau hanya puncak dari gunung es korupsi kewenangan di daerah?


Penutup: Ketika Hukum Dilecehkan oleh Penjaganya Sendiri

Apa yang terjadi di Tabalong bukan sekadar konflik rumah tangga. Ini adalah simbol bobroknya penegakan hukum jika tak dikawal oleh transparansi, etika, dan profesionalisme. Ketika aparat bisa bertindak tanpa LP, tanpa dasar hukum, dan hanya karena hubungan pribadi dengan pihak pelapor—maka hukum telah berubah menjadi alat tekanan, bukan pelindung keadilan.

Jika institusi tutup mata, maka masyarakat akan tutup hati

 

laporan: Eny

Reporter: ZULKARNAIN IDRUS