Medan – DetektifinvestigasiGWI.com | Tujuh bulan tanpa kejelasan. Satu kasus kekerasan terhadap jurnalis mandek di tangan penegak hukum. Publik bertanya: Apakah hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas? Atau ada kekuatan tak kasat mata yang sedang melindungi pelaku?
Junaedi Daulay, wartawan yang menjadi korban kekerasan, turun langsung menggelar aksi damai di depan Markas Polrestabes Medan. Bersama anaknya, ia berdiri dengan mengenakan pakaian hitam. Namun aksi damai itu justru disambut dengan diam seribu bahasa dari institusi yang seharusnya menjamin keadilan.
“Kapolrestabes Medan, Kombes Pol Gidion Arief Setyawan, bahkan tidak muncul batang hidungnya. Kami menunggu lebih dari satu jam. Tapi jawaban yang kami terima hanyalah: ‘sabar, sedang berproses’,” kata Junaedi dengan nada getir.
Kasus yang dipersoalkan bukan perkara ringan. Bukan sekadar sengketa. Ini soal perampasan alat kerja wartawan (ponsel), intimidasi, dan kekerasan fisik berupa cekikan, yang dilakukan oleh anak oknum Kepala Desa Cinta Rakyat bersama preman debt collector dari Megacom Medan.
Fakta-fakta yang telah dikantongi penyidik tak kunjung menghasilkan satu pun tersangka. Tak ada penahanan. Tak ada transparansi. Yang ada hanyalah prosedur yang berputar di tempat.
“Kalau pelakunya orang biasa, bukan anak pejabat desa, mungkin sudah ditangkap malam itu juga. Tapi nyatanya, kami malah dihadiahi pembiaran,” tambah Junaedi.
Aksi yang digelar di depan kantor polisi itu bukan sekadar bentuk protes, melainkan peringatan bahwa pers tidak akan bungkam ketika hukum dipermainkan.
Dalam tuntutannya, Junaedi menekankan dua poin kunci:
- Segera tetapkan tersangka terhadap pelaku kekerasan yang jelas-jelas teridentifikasi: anak oknum Kades Cinta Rakyat.
- Tindak tegas preman debt collector dari Megacom Medan, yang disebut kerap melakukan teror terhadap masyarakat sipil.
Sementara itu, investigasi DetektifinvestigasiGWI.com menemukan adanya indikasi tarik-ulur dalam penanganan kasus ini. Beberapa sumber menyebutkan, adanya “intervensi tak langsung” dari pihak tertentu yang punya hubungan dengan pelaku, diduga turut menghambat progres kasus.
Pertanyaannya sederhana: jika hukum benar-benar berdiri netral, mengapa pelaku masih bebas berkeliaran?
Jurnalis bukan kriminal. Kamera dan pena bukan senjata. Tapi jika kekerasan terhadap jurnalis dibiarkan, maka yang mati bukan hanya keadilan—tapi juga suara rakyat.
Polrestabes Medan kini berada dalam sorotan tajam. Tidak hanya dari para jurnalis, tetapi dari publik yang menginginkan satu hal: tegaknya keadilan tanpa kompromi.
(Tim Detektif Investigasi | DetektifinvestigasiGWI.com)