Detektifinvestigasigwi.com | BANYUWANGI – Senin pagi (2/6), Kepala Lapas Kelas IIA Banyuwangi yang baru, I Wayan Nurasta Wibawa, datang bersilaturahmi ke dua institusi penting: Pengadilan Negeri (PN) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuwangi. Di atas kertas, kunjungan ini disebut sebagai “penguatan sinergi penegakan hukum.” Namun, di balik sapaan hangat dan jabat tangan erat, ada satu pertanyaan mendesak: apakah ini benar-benar langkah reformasi, atau justru pengulangan pola lama yang penuh kabut koordinasi dan ketertutupan?

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Di Balik Silaturahmi Kalapas Baru Banyuwangi: Sinergi atau Sinyal Bahaya Lama?

Kunjungan Formal, Masalah Struktural

Selama bertahun-tahun, hubungan antar Lapas, Kejaksaan, dan Pengadilan di berbagai daerah, termasuk Banyuwangi, kerap diliputi tumpang tindih kewenangan, tarik ulur kepentingan, hingga praktik koordinasi transaksional yang tidak jarang menjadi bancakan para oknum. Dari penundaan eksekusi putusan, hingga dugaan ‘main mata’ dalam pengelolaan pembinaan narapidana, sistem pemasyarakatan acapkali justru menjadi tempat parkir bagi masalah hukum yang tak selesai di pengadilan.

Kunjungan Wayan — meski dikemas sebagai silaturahmi — tidak bisa dilepaskan dari konteks besar ini. Ia datang ke PN dan Kejari dengan rombongan pejabat struktural, membahas koordinasi, pengawasan, hingga reintegrasi sosial warga binaan. Namun tak ada rincian terbuka soal perbaikan apa yang akan dilakukan. Tidak ada kejelasan soal evaluasi atas kebijakan lama. Dan yang paling mencolok: tidak ada satupun pembicaraan menyentuh isu krusial seperti overkapasitas lapas, dugaan pungli pembinaan, hingga transparansi pelaksanaan putusan pengadilan.

Lapas Banyuwangi: Jejak Masalah Tak Pernah Jelas

Lapas Kelas IIA Banyuwangi bukan tanpa catatan. Dalam lima tahun terakhir, Ombudsman dan beberapa lembaga advokasi pernah menyoroti masalah seperti pembinaan yang tidak berjalan efektif, minimnya transparansi dalam pembebasan bersyarat, hingga kabar miring soal perlakuan istimewa terhadap narapidana tertentu. Namun semua itu menguap begitu saja – tanpa audit terbuka, tanpa investigasi mendalam, dan tanpa koreksi sistemik.

Kini, di bawah kepemimpinan baru, muncul harapan akan perubahan. Tapi sinyal itu masih kabur. Dalam wawancara singkat, Wayan hanya menyebut perlunya “sinergi dan komunikasi.” Frasa aman yang terlalu sering digunakan untuk menutupi absennya komitmen konkret terhadap transparansi dan akuntabilitas.

Sinergi atau Sekat Kepentingan?

Pertemuan tertutup antara tiga institusi ini juga menyisakan pertanyaan besar: siapa yang mengawasi mereka? Saat lembaga penegak hukum bertemu secara bilateral tanpa pelibatan publik atau media secara menyeluruh, yang tumbuh bukan kepercayaan, tapi kecurigaan. Terlebih, ketika tak ada satupun hasil pertemuan yang diumumkan secara rinci kepada publik.

“Kalau cuma bicara sinergi tapi tak pernah ada laporan evaluasi, maka itu bukan sinergi – itu kartel birokrasi,” ujar seorang pemerhati hukum pemasyarakatan di Banyuwangi yang enggan disebut namanya.

Harapan atau Ilusi?

Kepemimpinan baru di Lapas seharusnya menjadi momentum untuk pembenahan nyata. Tapi jika langkah awal hanya diisi oleh formalitas kunjungan dan basa-basi koordinasi, publik patut waspada. Karena sejarah telah berkali-kali membuktikan: birokrasi hukum yang tertutup hanya akan melanggengkan masalah – dari atas sampai ke dalam jeruji.

Laporan: Eny
Investigasi & Analisis: Tim Redaksi
Editor: ZoelIdrus

Reporter: ZULKARNAIN IDRUS