Eropa |detektifinvestigasigwi.com- Sering kali kita mendengar, bahwa Hakim adalah Wakil Tuhan. Yang ada di bumi sehingga Hakim disebut, sebagai Yang Mulia. Gerry Michael Purba-Hakim PN Sabang, kamis 17 juli 2025.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Hakim sebagai Wakil Tuhan, Asal Usul Historis Dan Relevansinya, Dalam Negara Demokrasi.

Gelar ini sangat agung dan tinggi serta berat jika di lihat dari berbagai perspektif. Akan tetapi, sebenarnya dari mana asal usul daripada sebutan ini? Berikut adalah penjelasannya mengapa Hakim disebut sebagai Wakil Tuhan.

Sejarah Raja sebagai Wakil Tuhan

Ketika periode Kerajaan Eropa Zaman dahulu di mana masih berlaku monarki absolut, Raja dianggap sebagai Wakil Tuhan di Bumi. Tidak ada satupun dapat mengambil takhta Raja tersebut, termasuk Raja itu sendiri. Pada zaman itu, kekuasan Raja dianggap inalienable rights atau hak yang tidak dapat dialihkan bahkan dari raja itu sendiri.

Kemudian, Raja adalah sebagai penentu kasus dalam Kerajaannya. Ini didapati hampir diseluruh Negara Monarki Absolut.

Pada sistem kekhalifahan juga terdapat demikian di mana seorang khalifah berperan sebagai penentu (pemutus) daripada kasus di dalam wilayah kekuasaannya. Namun, dikarenakan terlalu banyak kasus dan luasnya Kerajaan, maka Raja kewalahan untuk menjadi penentu perkara-perkara yang ada di dalam Kerajaannya. Untuk mempermudah hal tersebut, maka Raja memberikan mandat kepada orang-orang tertentu untuk mengerjakan pekerjaanya dalam mengadili perkara.

Orang-orang inilah yang disebut sebagai Hakim, di mana Hakim disini adalah Wakil Raja yang otomatis berarti Wakil Tuhan. Hal ini juga ditemukan di Indonesia (dahulu Hindia Belanda) di mana Putusan Pengadilan Hindia Belanda menggunakan irah-irah “In naam der Koningin” atau Atas Nama Raja.

Perubahan Konsep Kekuasaan Pasca-Revolusi

Ketika Revolusi Prancis berlangsung, Raja dan keluarganya dihukum pancung. Disusul oleh Revolusi lainnya di Eropa. Namun, timbul suatu pertanyaan ketika Revolusi Prancis tersebut berlangsung. Karena menurut kepercayaan kaum Kristen pada masa itu, hal ini merupakan suatu Penistaan dan Kegoncangan yang sangat besar. Karena dahulu mereka percaya bahwa Raja adalah pilihan Tuhan langsung.

Hal ini terdapat dalam Roma 13:1-2 yang tertulis “Setiap orang harus tunduk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab segala pemerintah berasal dari Allah, dan para pemegang kekuasaan ditetapkan oleh Allah.”. Takhta Raja telah dilekatkan oleh Tuhan langsung kepada Kepala Sang Raja.

Namun, peristiwa pemancungan tersebut membuktikan bahwa Rakyat mampu memancung Kepala Rajanya sendiri. Lantas, bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Masyarakat pun menafsirkan bahwa apa yang dilakukan rakyat adalah kehendak Tuhan. Hal ini terinspirasi dari slogan “suara rakyat adalah suara Tuhan” atau Vox Populi Vox Dei.

Kutipan “Vox Populi Vox Dei” ini juga dapat dilihat dari Paus Gregory I (atau juga disebut Gregory Yang Agung) di mana menurut sang Paus ketika kehendak Masyarakat yang sesuai dengan ajaran Gereja, maka itu merupakan kehendak suci yang harus diikuti. Hal ini juga didapat pada ayat Alkitab Matius 18:20 yang berkata “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.

Hakim dalam Negara Demokrasi: Bukan Alat Populisme

Lama setelah revolusi tersebut, Kerajaan diubah menjadi Demokrasi, tetapi jabatan Hakim masih ada. Namun, Hakim tidak lagi sebagai Wakil Raja, namun tetap sebagai Wakil Tuhan.

Di mana Tuhan didalam Negara hasil revolusi tersebut adalah kehendak Rakyat itu sendiri akan keadilan. Namun, perlu juga ditekan disini bahwa Hakim bukan berarti mengikuti kehendak Populisme.

Yudikatif dibuat tidak hanya untuk melihat kehendak Masyarakat banyak, namun juga mencegah agar kehendak orang banyak dipakai untuk mengambil hak orang lain dikarenakan jumlahnya lebih sedikit.

Hal ini dijelaskan oleh John Locke dan Montesquieu di mana Trias Politica dibuat tidak semata-mata untuk mewakili kehendak Masyarakat, namun juga mencegah akan adanya Tirani Mayoritas terhadap Masyarakat yang lebih kecil didalamnya. Hal ini penting karena setiap orang, termasuk anda yang baca, merupakan minoritas pada saat-saat tertentu.

Entah karena agamanya, etnisnya, warna kulitnya, gendernya, genetiknya dan lain hal sebagainya. Hal itu agar setiap individu dapat memaksimukan potensinya karena bisa saja kita tidak suka pada orang tertentu pada saat itu tetapi kita suka dan salut pada saat yang lain.

Yudikatif dibuat agar Kontrak Sosial itu betul-betul dipenuhi. Karena Hak Konstitusi adalah alasan mengapa orang bergabung ke Negara tersebut. Yudikatif dibuat untuk melindungi segala kepentingan dan juga membendung salah satu dampak negatif daripada Demokrasi yang dijelaskan oleh Plato. Dari perlindungan Hak-Hak orang yang jumlahnya kecil itu, akan memunculkan suatu inovasi.

Orang genius adalah “orang aneh” dan jumlahnya sedikit. Mereka adalah suatu outlier dari suatu komunitas. Mereka adalah orang-orang yang berani menembus batas dan seorang risk taker. Dan dari mereka orang-orang aneh ini, akan muncul suatu inovasi dan kemudian Negara menjadi maju. Tidakkah hanya butuh satu Einstein untuk mengubah dunia? Namun, Einstein pun memiliki keanehan dalam hidupnya. Negara harus mampu memfasilitasi mereka atau setidak-tidaknya memberikan hak asasinya.

Yudikatif sebagai Lembaga Meritokratis

Yudikatif dibuat sebagai lembaga yang Meritokratis, alih-alih lembaga Demokratis. Yudikatif dibuat agar terjadi stabilitas di Negara tersebut. Ini alasan di beberapa Negara, Hakim tidak dipilih lewat Pemilihan Langsung. Dan dari sini jugalah dasar daripada Kode Etik yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh mencari Popularitas. Bukan berarti Hakim tidak boleh disukai. Karena suka atau tidak sukanya Masyarakat akan Putusan atau kinerja dari Hakim itu di luar dari kewenangan daripada Hakim itu sendiri.

Namun demikian, Hakim tidak boleh memutus hanya semata-mata desakan dan tekanan Masyarakat. Dia harus tetap logis dan berdiri daripada hati nuraninya. Namun, Hakim harus juga mampu melihat hukum yang hidup dimasyarakat. Hakim harus mampu menyesuaikan equilibrium tersebut.

Bagaimana jikalau tujuan daripada Undang-Undang itu ditolak oleh Masyarakat pada komunitas itu? Disinilah letak jiwa seniman Hakim harus dimunculkan. Dia harus mampu menjelaskan tujuan indah daripada Hukum Positif itu dan menyesuaikan dengan penerimaan Masyarakat.

Tentu saja itu agak sulit dilakukan karena dalam era-post truth seperti sekarang ini, sering kali niat baik diberitakan dengan judul yang sinis. Padahal pada awalnya Yudikatif dibuat untuk menjadi logos atau suara kebijaksanaan agar meningkatkan kepercayaan publik. Namun, kepercayaan publik sekarang sering kali digiring oleh mereka yang punya algoritma dan big data. Semoga kita dapat mengantisipasi itu dengan baik. (AAR/LDR)

Daftar referensi, 1.Alkitab. (n.d.). Roma 13:1–2: “Setiap orang harus tunduk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab segala pemerintah berasal dari Allah, dan para pemegang kekuasaan ditetapkan oleh Allah.” ; 2.John Locke. (1689). Two Treatises of Government (1st ed.). London : Awnsham Churchill, Chapter 2 ; Charles de Secondat Montesquieu. (1949). The Spirit of the Laws (trans. Thomas Nugent, 1st ed.). New York: Hafner Press, Book 11, Chapter 6 ; 3.Plato. (2000). The Republic (trans. Benjamin Jowett, 2nd ed.). New York: Dover Publications, pp. 266–268;

(Red)

Reporter: GWI Aceh Perwakilan GWI Aceh