Binjai – detektifinvestigasigwi.com|Sistem parkir Kota Binjai tengah berada dalam sorotan tajam. Di balik rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini, terungkap praktik pengelolaan liar, tekanan terhadap pengusaha dan juru parkir, serta aliran dana retribusi yang tidak jelas arah dan dasarnya. Akar dari kekacauan ini ditengarai berada di tubuh Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Binjai, dengan Kabid Perparkiran, Arif Sihotang, sebagai figur sentral.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
INVESTIGASI: Di Balik Kisruh Parkir Kota Binjai – Dugaan Penguasaan Liar, Intimidasi, dan Kebocoran PAD oleh Oknum Dishub

Pungutan di Lahan Pribadi: Melawan Aturan, Tapi Terus Dilakukan

Investigasi di sejumlah titik mengungkap fakta mencengangkan: Dishub Binjai diduga aktif memungut retribusi dari pengusaha yang mengelola parkir di atas lahan milik sendiri. Dalam banyak kasus, para pengusaha dan juru parkir diminta menyetor kepada Dishub atau “berkoordinasi” langsung dengan pejabat di dalamnya, meski lokasi tersebut bukan aset Pemerintah Kota Binjai.

Padahal, aturan hukum sudah sangat jelas melarang praktik ini. Berdasarkan:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa retribusi parkir di tepi jalan umum hanya dapat dikenakan pada fasilitas milik pemerintah daerah.
  • Permendagri Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan dan Penetapan Rincian Retribusi Daerah, mempertegas bahwa pungutan retribusi tidak dapat dilakukan di atas lahan privat yang tidak dibangun atau difasilitasi oleh negara.
  • Bahkan dalam praktik pengelolaan daerah, tanah milik perorangan atau badan usaha yang tidak bersumber dari APBD tidak bisa dikenai retribusi daerah tanpa perjanjian kerja sama yang sah.

“Jika Dishub memaksa pihak swasta menyetor tanpa dasar hukum, itu tidak hanya ilegal, tapi bisa masuk dalam ranah pidana penyalahgunaan wewenang,” ujar Ahmad Zulfikar, SH, praktisi hukum Sumatera Utara.

Tanpa Karcis, Tanpa Transparansi

Anehnya, Dishub justru tidak memberikan karcis resmi di banyak titik parkir yang mereka kelola langsung. Tidak ada bukti pembayaran, tidak ada sistem digital, dan tidak ada laporan yang dapat diverifikasi secara publik. Lalu ke mana uang tersebut mengalir?

Satu Koordinator Kelola Banyak Titik: Celah Kepentingan

Ditemukan pula praktik monopoli dalam pengelolaan parkir oleh oknum koordinator yang memegang kendali atas banyak titik parkir di kota ini. Di setiap lokasi, terdapat dua hingga empat juru parkir, namun pembagian hasil cenderung timpang. Jukir hanya mendapatkan upah kecil, sementara pengelola dan oknum Dishub diduga menikmati bagian terbesar.

Tekanan dan Intimidasi: Pengusaha dan Jukir Dalam Cengkeraman

Beberapa pelaku usaha dan jukir mengaku mendapat tekanan langsung dari oknum Dishub agar tunduk dan ikut sistem mereka, meskipun lahan parkir adalah milik pribadi. Bahkan ketika pengusaha mencoba menyetor langsung ke Dispenda atau mengelola sendiri secara legal, mereka justru dianggap “membangkang”.

“Ini bukan pengaturan, ini penaklukan,” ujar seorang pengelola parkir yang enggan disebut namanya.

Tuntutan Publik: Hentikan Pungutan Ilegal, Audit Total Sistem Parkir Binjai

Dengan dasar hukum yang melarang Dishub memungut retribusi di lahan pribadi, serta ketidakhadiran sistem transparan seperti karcis, tuntutan masyarakat untuk dilakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan parkir kian menguat.

Pemerintah Kota Binjai harus menjawab:

  • Kenapa Dishub bisa bertindak di luar batas hukum?
  • Ke mana larinya dana parkir non-karcis?
  • Mengapa sistem retribusi tak berdasarkan Perda, tapi pada arahan oknum?

Kota Binjai Perlu Dibersihkan dari Praktek Otoriter Bertopeng Regulasi

Parkir seharusnya menjadi sumber PAD yang sah dan produktif, bukan ladang bisnis gelap. Jika dibiarkan, kebocoran ini tak hanya akan merusak sistem fiskal daerah, tapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan hukum.

Ini bukan hanya soal parkir. Ini soal moral pemerintahan.

Reporter: ZULKARNAIN IDRUS