Jakarta |detektifinvestihasigwi.com- Memperingati Hari Anak Nasional, pengadilan sebagai pilar keadilan negara dituntut hadir secara utuh sebagai pelindung dan penyelamat masa depan anak-anak.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Memperingati Hari Anak Nasional : Peran Pengadilan, Dalam Menangkap Harapan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

Pendahuluan: Hari Anak Nasional dan Refleksi Bangsa

Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tahunnya pada 23 Juli, hendaknya bukan sekadar seremoni belaka. Peringatan Hari Anak Nasional haruslah diartikan seabgai panggilan nurani bangsa untuk menengok kembali sejauh mana negara hadir dalam menjamin hak-hak anak.

Tema yang diusung tiap tahun selalu membawa harapan agar anak-anak Indonesia tumbuh sebagai generasi sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia. Tema peringatan tahun ini adalah “Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju Indonesia Emas 2045”. Namun ternyata realitas di lapangan tidak sesederhana itu.

Pasalnya, masih banyak anak-anak yang hidup dalam kondisi rentan-seperti terpapar kekerasan, mengalami eksploitasi baik fisik, psikis, ekonomi, sosial, seksual, penelantaran, perdagangan orang, bahkan terjerat dalam kasus-kasus pidana.

Anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) adalah mereka yang kerap kali terpinggirkan dalam diskursus hak anak meskipun berbagai regulasi telah mengatur tentang hak-hak anak. Di sinilah urgensinya membicarakan peran pengadilan, bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi sebagai penangkap harapan dan pelindung masa depan bagi anak, khususnya anak yang berhadapan dengan hukum.

Anak dan Hukum: Antara Perlindungan dan Pemidanaan

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), telah digariskan pendekatan yang berbeda terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada keadilan restoratif (restorative justice) dan diversi sebagai mekanisme utama (primum remidium).

Penahanan atau perampasan kemerdekaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) seharusnya menjadi langkah terakhir (ultimum remedium), yang hanya ditempuh apabila tidak ada alternatif lain untuk menjerakan anak.

Setiap aparat penegak hukum-baik penyidik, jaksa, hakim, advokat, pendamping anak, psikolog, pekerja sosial, pembimbing kemasyarakatan-termasuk juga keluarga, perlu memahami bahwa tindakan melanggar hukum oleh anak sering kali dilakukan bukan karena niat jahat, melainkan karena ketidaksiapan mental dan emosional. Anak belum memiliki kematangan berpikir maupun kontrol emosi yang stabil. Banyak di antara mereka bertindak karena pengaruh tekanan sosial, lingkungan sekitar, atau situasi keluarga yang tidak kondusif.

Namun, dalam praktiknya, tidak dapat dipungkiri bahwa sistem peradilan masih menghadapi berbagai tantangan dan belum sepenuhnya ideal. Masih ditemukan sejumlah praktik,

– Proses hukum yang tidak ramah anak,

– Minimnya fasilitas pendukung seperti ruang sidang khusus anak,

– Kurangnya tenaga terlatih seperti hakim anak, jaksa anak, atau pembimbing kemasyarakatan yang memahami psikologi anak.

Padahal, setiap anak yang duduk di kursi pesakitan bukan hanya membawa kesalahan, tetapi juga membawa harapan akan kesempatan kedua. Kesempatan yang seharusnya diberikan kepada Anak untuk memperbaiki diri menjadi pribadi yang positif bagi masa depannya.

Peran Hakim dan Pengadilan dalam Menangkap Harapan Anak

Pengadilan memiliki posisi yang sangat strategis untuk menegakkan keadilan sekaligus menjamin masa depan anak. Pengadilan, khususnya hakim yang menangani perkara anak, dalam menangani perkara anak, Hakim harus memegang prinsip:

1. Melindungi kepentingan terbaik anak (best interest of the child):

Hakim bukan hanya menilai unsur-unsur pasal, tetapi mempertimbangkan masa depan anak sebagai manusia yang masih dapat berkembang dan tumbuh menjadi manusia normal.

2. Menghindari stigmatisasi:

Putusan pengadilan tidak boleh membuat anak kehilangan rasa harga diri. Acapkali anak yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan mendapat cap yang buruk sebagai anak yang nakal dan tidak berguna baik masa sekarang atau masa mendatang. Padahal, anak harus tetap merasa punya nilai dan masa depan, bukan dikucilkan dari lingkungan.

3. Menjadi pembina, bukan penghukum:

Hakim Anak harus memiliki empati, bukan semata-mata simpati. Anak bukan objek hukuman dan tidak layak diperlakukan sebagai terdakwa sebagaimana orang dewasa, anak harus dijadikan sebagai subjek pembinaan.

4. Mendorong keadilan restoratif:

Pengadilan harus mengutamakan penyelesaian perkara melalui mediasi penal, perdamaian, dan upaya rehabilitasi yang melibatkan Anak sebagai pelaku, maupun dengan korban, keluarga dan masyarakat.

5. Memastikan pelibatan keluarga dan komunitas:

Reintegrasi anak ke masyarakat adalah bagian dari keadilan yang menyeluruh. Tidaklah mudah mengembalikan anak ke tengah-tengah lingkungan masyarakat apabila lingkungan masyarakatnya tidak mendukung anak kembali ke masyarakat. Acapkali masyarakat akan resisten terhadap anak yang telah pernah berhadapan dengan hukum. Melalui putusan pengadilan dan pelibatan semua pihak yang terkait diharapkan proses reintegrasi anak dapat berjalan dengan baik.

Dengan peran seperti ini, pengadilan dapat menjadi jembatan bagi anak dari kesalahan menuju harapan, dari keterpurukan menuju pemulihan.

Praktik Baik: Pengadilan Ramah Anak

Sejumlah pengadilan telah mengembangkan child-friendly court dengan mengadopsi pendekatan seperti:

– Sidang tertutup untuk menjaga kerahasiaan identitas anak,

– Bahasa yang disederhanakan agar mudah dipahami,

– Ruang bermain dan ruang tunggu yang tidak menyeramkan,

– Pendampingan psikologis oleh Peksos atau LPSK,

– Penekanan pada pemidanaan terakhir (ultimum remedium) dan rehabilitasi sosial.

Pengalaman ini membuktikan bahwa ketika pengadilan bergerak melampaui sekadar tempat “memutus bersalah atau tidak”, maka pengadilan bisa menjadi tempat anak-anak mendapatkan kembali arah hidup mereka.

Kesimpulan: Pengadilan sebagai Harapan, Bukan Ketakutan

Anak-anak yang berhadapan dengan hukum bukan hanya masalah statistik kasus, meskipun tren tiap tahun ada peningkatan jumlah perkara yang melibatkan anak.

Anak-anak yang berhadapan dengan hukum adalah manusia muda yang sedang mencari jalan yang pada saat ini sedang tersesat dalam gelapnya permasalahan. Mereka tidak membutuhkan vonis yang menutup pintu masa depan, melainkan keputusan yang membukakan pintu pertobatan, perbaikan diri, dan kesempatan tumbuh lebih baik di masa mendatang.

Memperingati Hari Anak Nasional, pengadilan sebagai pilar keadilan negara dituntut hadir secara utuh sebagai pelindung dan penyelamat masa depan anak-anak. Dalam setiap keputusan terhadap anak, ada dua palu yang bisa diketuk: satu bisa mematahkan harapan, satu lagi bisa menyelamatkannya. Mari kita pilih yang kedua.

Karena pada akhirnya, anak yang diberi kesempatan hari ini akan menjadi warga negara yang berdaya esok hari.

Selamat memperingati Hari Anak Nasional, kita songsong generasi muda menuju Indonesia Emas 2045 kamis 24 juli 2025.

(Red/Penulis : Happy Try Sulistiyono/Humas MA Jakarta)

Reporter: GWI Aceh Perwakilan GWI Aceh