Dandapala |detektifinvestigasigwi.com- Pada hari minggu 27 juli 2025, salah satu asas dalam Hukum Perdata menyatakan merupakan kewenangan dari Penggugat dalam menentukan siapa pihak yang akan digugatnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa inisiatif datanya suatu gugatan berasal dari Penggugat, oleh karena Penggugat yang merasa haknya dilanggar dan Penggugat pula yang paling tahu siapa pihak yang dirasa telah melanggar haknya tersebut.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Menilik Formalitas Kewenangan Penggugat Dalam Menentukan Pihak Yang Akan Digugatnya.

Mahkamah Agung sebagai judex juris telah mengeluarkan yurisprudensi melalui putusan nomor 305K/Sip/1971 tanggal 16 juni 1971 dengan kaidah hukum yang menyatakan “Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk secara jabatan tanpa pemeriksaan ulangan menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salaj seorang tergugat, karena tindakan tersebut bertentangan dengan azas acara perdata yang memberi wewenang tersebut kepada penggugat untuk menentukan siapa-siapa yang akan digugatnya.”

Dengan adanya yurisprudensi tersebut tentu menjadi pedoman (guidance) bagi Hakim dalam menyelesaikan hal yang konkrit yang menjadi perselisihan dalam kasus yang ditanganinya.

Jika kita melihat kaidah hukum dari yurisprudensi tersebut, sepertinya memberikan hak yang mutlak kepada Penggugat dalam menentukan siapa saja pihak yang akan digugatnya, sehingga seakan-akan menutup celah dari kemungkinan adanya gugatan Penggugat yang mengandung kekurangan secara formal, baik kekurangan pihak yang ditarik sebagai Tergugat (plurium litis constortium) maupun kekeliruan dalam menarik pihak yang digugat (eror in persona).

Jika kita mengkaji kaidah hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Nomor 305K/ Sip/1971 tersebut, menunjukkan kalau hal konkret yang melatarbelakangi Penggugat dinyatakan memiliki kewenangan dalam menentukan siapa-siapa yang akan digugat nya, dikarenakan sebelumnya ada Putusan dari Pengadilan Tinggi sebagai judex facti yang telah menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salah seorang tergugat. Sehingga maksud adanya putusan tersebut adalah untuk membatasi kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menarik seorang yang tidak digugat sebagai pihak Tergugat.

Adanya pembatasan kewenangan Pengadilan Tinggi tersebut, tidak hanya berlaku terhadap pihak ketiga yang ditarik sebagai Tergugat saja, tetapi juga berlaku terhadap pihak ketiga yang ditarik sebagai Turut Tergugat. Hal ini sesuai dengan Putusan MA-RI No.457.K/ Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 dengan kaidah hukum yang menyatakan “Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai “Turut Tergugat” (juga dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara).”

Adanya kaidah hukum dalam yurisprudensi tersebut selaras dengan asas dalam Hukum Perdata yang menyatakan merupakan ke wenangan dari Penggugat dalam menentu kan siapa pihak yang akan digugat nya. Namun yang menjadi pertanyaan, sejauh mana Penggugat memiliki kewenangan dalam menentukan siapa pihak yang akan digugatnya, ditinjau dari segi formal?

Penggugat dalam menentukan siapa saja pihak yang akan ditarik sebagai Tergugat, secara garis besar didasarkan pada 2 (dua) faktor.

Pertama Penggugat harus meneliti terlebih dahulu hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat. Apakah ada hak Penggugat yang dilanggar oleh Tergugat atau tidak? Di dalam praktek, adanya tuntutan hak yang diajukan ke pengadilan didasarkan pada 2 (dua) hal yaitu pertama dikarenakan adanya perjanjian (agreement) sebelumnya diantara kedua belah pihak dan kedua dikarenakan adanya perbuatan Tergugat yang menurut Penggugat telah melanggar haknya (onrechtmatige daad).

Selanjutnya faktor kedua adalah Penggugat harus menyesuaikan kebutuhan dalil gugatan Penggugat, dalam hal ini Penggugat harus menentukan sejauh mana ruang lingkup objek yang akan dipermasalahkan Penggugat. Sehingga atas dasar itulah, Penggugat dapat menentukan siapa saja pihak yang akan ditarik sebagai Tergugat.

Adanya hak dari Penggugat untuk menggugat pihak lain yang dirasa telah melanggar haknya tersebut, tidaklah berlaku mutlak. Tidak serta merta semua orang dapat digugat oleh pihak lain.

Jika Penggugat dalam menarik pihak lain sebagai Tergugat, tidak didasarkan pada adanya suatu hubungan hukum dan kebutuhan ruang lingkup objek yang dipermasalahkan, maka menjadi konsekuensi logis kalau gugatan dari Penggugat akan dinyatakan mengandung cacat formal, baik gugatan Penggugat keliru dalam menarik pihak yang digugat maupun gugatan Penggugat kekurangan pihak yang ditarik sebagai Tergugat.

(Red/Dandapala Contributor)

Reporter: GWI Aceh Perwakilan GWI Aceh