BANJARBARU – detektifinvestigasigwi.com ll Sebuah perjuangan yang hebat dan tidak sia-sia hingga akhirnya membuahkan keberhasilan dan yang penuh jasa Sore itu, Minggu 1 Juni, lantai dua sebuah ruko di Jalan Ahmad Yani Km 31, Guntungmanggis, Banjarbaru, terasa hangat oleh cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar kantor hukum Robert Hendra Sulu, S.H. Ruang kerjanya dipenuhi rak-rak kayu menjulang tinggi yang menampung ribuan buku tersusun rapi Awal Perlawanan. Tak ada alat canggih, tak ada asisten. Yang ada hanya tumpukan buku, cahaya matahari yang menyelinap dari sela-sela jendela, dan semangat yang tak pernah padam meski usia terus berjalan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Perjuangan Dan Cerita Perlawanan Robert Hendra Sulu, S.H.: Jumat Kelabu 1997 (Part 1)

“Saya belajar berbagai macam… jenis-jenis apa saja. Bukunya ini ada kurang lebih seribu. Seribu judul—semua sudah saya registrasi. Kalau tidak diregistrasi, nanti tidak ketahuan itu masalahnya apa.” Robert menunjuk satu per satu label di punggung buku-bukunya yang tersusun rapat. Buku-buku itu tidak hanya memenuhi rak di ruang tamunya. “Di bawah juga ada, di kebun juga ada, bahkan di tempat tidur saya pun masih ada tumpukan buku. Saya tidak mau ruang itu kosong. Ruang itu harus diisi: dengan buku, bacaan, atau alat musik. Kalau kosong… saya jadi sedih.”

Setiap pagi, sebelum matahari naik sepenuhnya, Robert sudah mulai membaca. Tidak ada hari libur kecuali hari Minggu, yang ia luangkan khusus untuk ibadah. Selebihnya, pagi-pagi sekali ia sudah duduk, membaca, menulis, dan menyapa dunia lewat buku.

“Setiap pagi, jam lima, kadang jam empat, saya sudah baca. Saya semangat. Minum air putih dulu, menyapa hari, menyapa siapa saja, termasuk lawan saya. Bahkan kalau pun berbeda pandangan, saya tetap menyapa. Perbedaan itu bukan untuk dibedakan. Itu hal yang manusiawi.”

Prinsip hidup Robert sederhana namun kuat: menjaga isi, bukan hanya ruang fisik, tapi juga ruang batin dan akal. Ia percaya bahwa manusia harus terus mengisi dirinya—dengan ilmu, dengan kesadaran, dengan refleksi. Karena itu pula ia menyimpan semua dokumentasi hukum dengan rapi. Tak ada satu pun yang dianggap sepele.

“Kalau kita bicara tentang sesuatu kejadian, ya, bukti apa yang kita bawa? Saya punya data semua. Ini bukan hal yang mudah, bukan sesuatu yang semua orang mau atau bisa lakukan. Tapi saya lakukan, karena saya tahu: ini penting.”

Seribu buku, dan lebih dari seribu pagi yang ia lewati dengan membaca dan mencatat. Dari sinilah ia bersiap, bukan hanya sebagai pengacara, tapi sebagai seorang manusia yang berpihak—bukan berdasarkan kekuasaan atau kepentingan, tapi berdasarkan kebenaran yang lahir dari pemahaman dan keyakinan pribadi.

Namun, di balik ketekunan dan kesunyian itu, Robert menyimpan satu hari yang tak pernah ia lupakan. Hari yang membuatnya semakin yakin bahwa hukum harus berdiri sebagai benteng bagi siapa pun yang dirugikan, seberapapun kecil suaranya.

“Saya masih ingat betul, 23 Mei 1997, hari Jumat… orang-orang menyebutnya Jumat Kelabu. Saya ada di sana. Saya melihat langsung bagaimana api bisa tumbuh dari ketakutan, dari amarah.”

Hari itu, Robert hanya berniat mencari alat musik di toko di pusat kota. Tapi langkahnya terseret sejarah. Ia terjebak di tengah massa yang mulai tak terkendali. Hotel Junjung Buih terbakar. Asap membubung. Sirene meraung. Dan di tengah semua itu, ia hanya bisa memacu mobil Jeep CJ7 miliknya mengikuti mobil pemadam kebakaran, menyelamatkan diri dari amuk yang belum ia pahami sepenuhnya—tapi ia tahu, itu bukan hari biasa. Bukan kejadian biasa.

Peristiwa itu menjadi titik balik. Di antara kepulan asap dan ketakutan, Robert mulai melihat hukum bukan sekadar pasal dan ayat, tapi sebagai pilihan keberanian. Dan di ruang kerja yang penuh buku itu, keberanian itu ia rawat, satu dokumen, satu buku, satu pagi pada satu waktu. Bersambung … (Om – An)

**Eni/Red**

Reporter: NING SULIS