Scroll Untuk Lanjut Membaca

PEMATANGSIANTAR, DetektifinvestGWI.com – Kinerja kepolisian, khususnya jajaran Satlantas Polres Pematangsiantar, kembali disorot publik. Diduga kuat terjadi pelanggaran berat dalam pelaksanaan Operasi Patuh Toba 2025 yang berlangsung pada Rabu (24/7). Sejumlah fakta di lapangan mengindikasikan adanya ketidaksesuaian prosedur, penyalahgunaan wewenang, hingga dugaan manipulasi sistem pembayaran tilang.

Peristiwa bermula dari penilangan terhadap seorang pengemudi kendaraan roda empat karena Surat Izin Mengemudi (SIM) yang telah habis masa berlaku. Namun yang menjadi pertanyaan besar: surat tilang tidak disertai nomor BRIVA sebagaimana prosedur resmi yang semestinya mempermudah masyarakat melakukan pembayaran denda tilang melalui bank atau gerai resmi.

Kebingungan semakin memuncak ketika istri pengendara, Fuja, mendesak petugas karena anaknya yang berada di dalam mobil sedang mengalami mimisan dan membutuhkan pertolongan medis segera. Namun permohonan kemanusiaan ini tak digubris. Bahkan, portal keluar Markas Satlantas ditutup oleh petugas, membuat mobil tak dapat keluar dari halaman kantor polisi.

“Saya hanya ingin anak saya dibawa ke dokter, tapi petugas malah menahan kami tanpa kejelasan,” ungkap Fuja dengan mata berkaca-kaca.

Situasi ini menjadi tontonan warga dan saksi mata, termasuk aktivis sosial Joniar M. Nainggolan yang mencoba mengadvokasi kasus ini. Ia mempertanyakan dasar penahanan kendaraan tanpa surat tilang dan BRIVA. Namun, pertanyaannya tidak dijawab secara profesional. Bahkan ketika Joniar menawarkan untuk membantu membayar denda melalui Indomaret, nomor BRIVA tidak kunjung diberikan. Yang lebih mengejutkan, nomor BRIVA yang akhirnya diberikan sempat salah, hingga harus ditunjukkan melalui ponsel petugas.

“Ada indikasi kuat pengaburan prosedur di sini. Ini bukan sekadar miskomunikasi, tapi bisa masuk kategori pelanggaran SOP dan penyalahgunaan wewenang,” tegas Joniar.

Berikut ini beberapa poin pelanggaran yang dicatat berdasarkan hasil penelusuran langsung:

  1. Operasi bersifat stasioner dan menggunakan plang, bukan bergerak seperti ketentuan Operasi Patuh.
  2. Pelanggar tidak diberikan surat tilang secara langsung saat kejadian.
  3. Nomor BRIVA tidak tersedia atau bahkan salah, menghambat proses pembayaran resmi.
  4. Tidak ada akses cepat terhadap situasi darurat kemanusiaan, meskipun kondisi anak pelanggar memerlukan pertolongan segera.
  5. Penjelasan petugas tidak transparan, dan cenderung berbelit saat diminta klarifikasi.

Saat akhirnya Kanit Patroli tiba di lokasi dan menunjukkan surat tilang yang “tiba-tiba ada”, keraguan makin menguat. “Surat tilang yang katanya sudah diberikan, kenapa baru muncul setelah hampir satu jam adu argumen?” kata Joniar. Penjelasan yang diberikan oleh Kanit pun dianggap sebagai alibi tidak masuk akal.

Kasus ini memperlihatkan bahwa ada masalah serius dalam implementasi aturan tilang yang seharusnya transparan dan akuntabel. Jika benar Satlantas tidak memberikan surat tilang dan mempersulit pembayaran resmi, maka ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan indikasi praktik kotor di balik razia lalu lintas.

DetektifinvestGWI.com mendesak adanya investigasi internal dari Propam Polda Sumut terhadap dugaan pelanggaran berat ini. Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan hukum yang adil, bukan tekanan dari aparat yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom.

 

Reporter: ZULKARNAIN IDRUS

Tag